Senin, 08 Oktober 2007

Binton Nadapdap, Pemburu Buku dan Manuskrip

Buku adalah jendela dunia! Kalimat ini sudah sering terdengar sebagai salah satu upaya mempromosikan buku. Melalui buku, orang juga dapat melihat sejarah masa lampau dari suatu masyarakat. Maka, tidak salah jika dikatakan bahwa buku adalah salah satu bagian dari sejarah. Oleh karena itu, merawat buku adalah merawat bagian sejarah itu sendiri. Hal inilah yang menjadi motivasi bagi Binton Nadapdap untuk terus berburu dan mengoleksi buku dan manuskrip.

Binton Nadapdap awalnya hanyalah seorang karyawan BRI yang menyukai lukisan, itu pun dia peroleh karena pemberian seorang kolega. Sejak tahun 1992, keinginan untuk tahu lebih banyak tentang lukisan membuatnya harus berburu buku tentang lukisan.

Tanpa disadarinya, ternyata membaca dan mengoleksi buku memberikan suatu kepuasan sekaligus semangat baru. Dari sanalah dia kemudian memahami bahwa banyak buku yang memiliki nilai historis tidak terkira dan menjadi dokumentasi penting dari suatu bangsa.

Kecintaannya kepada lukisan pada akhirnya menimbulkan rasa bersalah jika tidak dibarengi dengan mengumpulkan buku. "Harga satu lukisan bisa untuk membeli ratusan buku, rasanya sangat egoistis jika hanya membeli lukisan saja," ucap ayah dua anak ini. Maka, galerinya di Cinere Raya tidak hanya dipenuhi lukisan. Ribuan buku juga menghuni tempat tersebut.

Inilah yang mendorongnya untuk terus berburu buku untuk kemudian dia koleksi. Tidak terasa sejak tahun 1992 koleksi bukunya telah mencapai 70.000 buah. Segala jenis buku disimpannya, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan tentu saja seni, khususnya painting.

Binton juga mengumpulkan naskah kuno atau manuskrip. Hingga saat ini Binton telah memiliki 40 manuskrip yang usianya lebih dari seratus tahun, bahkan ada yang berusia 200 tahun. "Uniknya, orang-orang di daerah tidak mengenal istilah manuskrip, tetapi lebih familiar dengan istilah ’tulisan daun lontar’ atau ’buku zaman kerajaan’," ungkap Binton.

Koleksi yang dimilikinya dapat membuat orang tercengang, sesuatu yang mungkin tidak pernah diketahui dalam sejarah ternyata ada dalam koleksi Binton. Kini, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Pemerintah Hindia Belanda melalui Uitgegeven door Het Nederlandsch Bijbelgenootschap pernah menerbitkan Kitab Perjanjian Lama berbahasa Sunda yang dicetak di Amsterdam tahun 1891, atau sebuah tafsir Al Quran berbahasa Jawa yang diterbitkan oleh kelompok Ahmadiyah tahun 1958 di Yogyakarta. Kedua buku ini saja dapat membuka sebuah diskusi tersendiri tentang syiar agama pada masa lalu. Demikian pula buku asli Mein Kampf karya Adolf Hitler yang dicetak di Jerman tahun 1944. Belum lagi sejumlah buku sosial budaya tentang orang-orang Belanda atau peranakan yang tinggal di Indonesia pada masa kolonial, yang tentunya semua berbahasa Belanda.

Perburuan buku dilakukan tidak hanya di Jakarta, tetapi hingga ke pelosok Pulau Jawa, Palembang, Jambi, Aceh, bahkan hingga ke Singapura. Jika kebetulan sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan, Binton tidak pernah lupa mendatangi kios dan toko buku kecil di daerah untuk mendapatkan berbagai informasi tentang buku dan manuskrip. Atau, jika ada hari libur, dia pasti menyempatkan diri bepergian ke luar kota untuk mencari buku atau lukisan. Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh buku atau naskah kuno, Binton memasang iklan di berbagai koran.

Biasanya ada orang yang menghubunginya dan menawarkan buku atau naskah kuno. Jika sudah demikian, Binton pasti akan mendatangi kontak person itu dan melihat sendiri barang yang ditawarkan orang tersebut. Saat-saat seperti itulah, laki-laki kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, Oktober 1970, ini tidak lagi ambil pusing dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan barang yang diincarnya.

Koleksi milik Binton tidak hanya buku bacaan berat. Komik pun memiliki tempat tersendiri di hati Binton. Ia seorang penggemar berat komik pada waktu kanak-kanak. Sewaktu masih di sekolah menengah di Siantar, Binton remaja sangat senang berlama-lama di tempat penyewaan komik. Bahkan, membolos pun pernah dia lakukan demi membaca komik kesayangannya.

"Dulu tempatnya di Pajak Hongkong dan Pajak Horas," ungkapnya. Pajak adalah bahasa Medan untuk pasar. Maka, tiga tahun yang lalu dia pun memborong semua komik lama yang ada di taman bacaan tersebut.

Bukan hanya ke Medan, Binton juga berburu komik lama di Semarang yang jumlahnya puluhan ribu dengan harga Rp 80 juta. Dari 70.000 koleksinya, 30.000 adalah komik lama seperti komik karangan Taguan Harjo, Ganes Th, Gan KL, atau Hans Jaladara, selain tentunya Kho Ping Hoo dan tak ketinggalan serial Sam Kok.

Memiliki ribuan buku tentunya mengundang konsekuensi lain, yaitu biaya perawatan buku-buku tersebut. Untuk itu, Binton mempekerjakan tiga orang untuk merawat lukisan dan buku-bukunya yang disimpan di dua tempat, yaitu di Lenteng Agung dan Cinere Raya. EX BOOKS adalah ruko tiga lantai di Cinere Raya, dua lantai digunakan sebagai galeri lukisan sekaligus perpustakaannya, sedangkan lantai tiga adalah tempat tinggal keluarga Binton.

Untuk merawat buku sekaligus memperoleh dana buat belanja buku selanjutnya, Binton memperolehnya dari penjualan lukisan. "Kelebihan hasil penjualan lukisan saya pakai untuk belanja atau perawatan buku," ungkap Binton.

Selain itu, dia juga sering menyewakan koleksi ensiklopedia miliknya kepada rumah produksi untuk keperluan syuting iklan atau sinetron. Semua buku itu disimpannya dalam lemari jati yang berusia lebih dari seratus tahun. Menurut Binton, hal ini dilakukan untuk menghindari serangga yang dapat merusak kertas agar bukunya terjaga dengan baik.

Membangun obsesi

Banyaknya buku dan manuskrip yang dimilikinya tidaklah lantas membuatnya berpuas hati dengan pencapaian yang diraihnya. Binton kini punya cita-cita lain, yaitu membangun sebuah tempat yang merupakan gabungan dari galeri lukisan, perpustakaan, serta koleksi benda antik hingga foto-foto tua. Rupanya Binton juga mengumpulkan koleksi foto-foto lama semasa perjuangan kemerdekaan dulu. Dia berharap dari gedung seperti itulah anak-anak muda Indonesia akan lebih mengenal dan mencintai sejarah dan budaya negerinya. "Orang bisa menikmati lukisan dan membaca buku," demikian cerita Binton.

Namun, keinginan itu terbentur oleh dana. Sangat sulit membangun obsesinya sendirian. Menyadari hal itu, Binton pernah mencoba menggaet pejabat dan orang-orang berduit untuk ikut membangun idenya, tetapi hal itu tidak mudah.

Hingga saat ini belum ada yang tertarik dengan keinginan Binton itu. Buku bukanlah impian semua orang. Binton menyimpulkan bahwa keengganan kenalan dan koleganya pada idenya tersebut bukanlah disebabkan ketidakmampuan finansial, tetapi karena ketidakpedulian pada buku ataupun benda peninggalan masa lalu. Binton mencontohkan seorang kenalannya mengaku tidak punya uang untuk membantunya membangun idenya, tetapi tidak lama setelah itu ternyata si kolega membeli sebuah mobil mewah.

Binton sendiri merasa sendirian dalam merawat koleksi manuskripnya. Dia sebenarnya menyayangkan ketidakpedulian orang Indonesia pada naskahnya sendiri. Hal itu sangat berbeda dengan orang Malaysia yang justru berburu naskah kuno di Palembang. "Orang Malaysia sampai masuk ke desa-desa di Palembang untuk mencari naskah peninggalan kerajaan Palembang," ujarnya.

Menurut Binton, orang Indonesia hanya bisa mengeluh saja. "Kalau sudah begitu, terus orang kita ngomong bahwa Malaysia sudah mengambil naskah kuno Indonesia," imbuhnya. Padahal, orang Indonesia-lah yang tidak memiliki kepedulian pada khazanah negerinya sendiri.

Ketika ditanya tentang kebiasaannya mengoleksi sesuatu, Binton mengungkapkan bahwa sejak kecil dia menyimpan semua buku sekolahnya. Sejak awal bersekolah hingga tamat S-2, dia menyimpan semua buku pelajarannya, dan setelah berkeluarga dia juga menyimpan rapi data anak-anaknya.

"Saya memfoto anak pada hari pertama sekolahnya, dan menyimpannya beserta semua kuitansi pembayarannya," ujar ayah yang sedang menyambut kelahiran anak ketiganya ini.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 8 Oktober 2007
[+baca-]

Minggu, 07 Oktober 2007

Dauzan Farook, Veteran Pustawakan Itu Wafat

Innalillahi wa innailaihi rojiun. Jogja kehilangan sosok yang hari-harinya dihabiskan untuk membuka khasanah masyarakat melalui buku. Dia adalah Dauzan Farook. Dauzan menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu pagi (6 Oktober 2007) pukul 05.30 setelah dirawat di RS PKU Muhammadiyah Jogja.

Dingin udara pagi yang menusuk tulang seperti tak terasakan saat tersiar kabar duka dari rumah sakit. Dauzan meninggal. Berita yang mengagetkan seperti petir di siang hari bolong ini langsung menyebar ke seluruh warga Kauman. Kauman adalah tempat tinggal sekaligus kampung kelahiran almarhum.

Berdasarkan biodata yang tersimpan di rumahnya, Dauzan lahir tahun 1925 di Kauman. Anak, saudara dan kerabat serta warga Kauman, bergegas menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 300 meter. Sementara yang lain menuju rumah Dauzan di Kauman GM I/328.

Rumah yang terletak di gang paling barat kampung Kauman ini sehari-harinya difungsikan sebagai tempat perpustakaan umum. Dua jam kemudian, jasad almarhum langsung dibawa ke rumah salah satu anaknya di Kadipaten KP I/292.

Di antara para takziah, tampak antara lain Wali Kota H Herry Zudianto, Direktur RS PKU Muhammadiyah Jogja dr HM Iqbal, anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), kalangan perguruan tinggi, aktivis perpustakaan dan para legiun veteran. Kedatangan bekas para pejuang mempunyai hubungan sejarah dengan almarhum.

Sebab, Dauzan semasa muda pernah berjuang melawan penjajah. Dia bergabung dengan pasukan Sub Wenkreise (SWK) 101. Ia pernah terlibat baku tembak dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kotabaru pada 6 Juli 1947.

Juga mati-matian saat terjadi kontak senjata pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Bahkan, di rumahnya terdapat foto kenang-kenangan ketika berpose dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. "Beliau pernah memanggul Pangsar saat bergerilya," terang Drs Ali Mansyur, menantunya.

Almarhum di mata Wali Kota Herry Zudianto adalah termasuk orang baik saat ini. "Beliau orang yang tidak banyak bicara, tapi lebih banyak memberi manfaat untuk masyarakat," tutur suami Hj Dyah Suminar ini.

Dauzan juga sosok yang bekerja dengan ikhlas daripada menuntut haknya sebagai masyarakat. Herry menempatkan almarhum sebagai lambang masyarakat madani yang mempunyai semangat memberdayakan dirinya. Nah, kenangan berkesan bagi Herry adalah ketika didatangi almarhum. "Beliau sering datang ke rumah hanya untuk meminjami buku," kenangnya.

Di rumah duka juga terdapat beberapa karangan bunga. Antara lain Global TV. Sekadar diketahui, televisi nasional ini sempat menayangkan liputan khusus mengenai kehidupan Dauzan Farook. Hasil liputan ini diputar Jumat dini hari (5/10).

Saat diwawancarai, Dauzan hanya mengenakan celana panjang dengan dada telanjang. Di leher terdapat kalung tasbih. Semasa hidup, Dauzan menikahi dua wanita. Yakni Zaringah dan Siti Sudarinah. Perkawinannya dengan Zaringah dikarunai tiga anak. Sedangkan dengan Siti Sudarinah melahirkan lima anak. Rumah di Kadipaten adalah anak dari perkawinan istri keduanya.

Tentu saja, disemayamkannya almarhum Dauzan di Kadipaten membuat kecele para takziah. "Saya kira berangkat dari sini," kata Kabid Pembina dan Perkembangan Perpusda DIJ Tulus Widodo.

Ada yang langsung ke Kadipaten, ada pula yang menunggu di Masjid Kauman. Karena pukul 14.00, keluarga memutuskan almarhum dibawa ke Masjid Kauman sebelum diberangkatkan di Makam Pahlawan Sawit Gamping.

Almarhum dikenal sebagai pejuang pada masa kemerdekaan melawan penjajah. Namun sejak tahun 1990 hingga menghembuskan nafas terakhir, Dauzan dikenal sebagai pustakawan. "Saya terpanggil untuk terjun ke medan perjuangan membela tanah air lewat jalur pendidikan. Yaitu mendirikan perpustakaan keliling Mabulir (majalah buku bergilir)," tutur Dauzan dalam buku hariannya.

Dauzan pun mewujudkan obsesinya. Perpustakaan berciri proaktif, gratis dan sistem kelompok multi level reading ini terus disosialisasikan ke masyarakat. Dia memperoleh buku-buku dari kocek pribadi. Dan, perjuangan Dauzan tidak sia-sia.

Masyarakat, pecinta buku dan kalangan perguruan tinggi, termasuk pemerintah, mengacungkan jempol untuk kerja keras Dauzan. Bantuan buku berbagai judul terus berdatangan. Karena terus bertambah, dia menyulap rumahnya menjadi tempat perpustakaan umum.

"Jumlah koleksi buku saat ini mencapai sekitar 25 ribu buku," kata Muhtasib, asistennya. Masyarakat yang berdatangan untuk membaca dan meminjam buku semakin banyak. Mulai anak-anak, remaja, mahasiswa hingga orang tua dari berbagai kalangan.

Itulah sebabnya, banyak pelanggan yang merasa kehilangan dengan sosok yang tak pernah lelah mengajak masyarakat membaca buku. Tak mengherankan, bila Dauzan menerima sejumlah penghargaan. Antara lain penghargaan Reksa Pustaka Bakti Tama taahun 2006 dari Gubernur Sultan HB X.

Pada tahun yang sama, Dauzan juga menerima penghargaan dari Ikapi pada acara pameran buku di Assembly Hall, Jakarta. Penghargaan ini dipajang di tempat perpustakaannya. Di sebelahnya, terdapat sajak karya Dauzan berjudul In The Name of Allah:

Berhentilah mencaci maki kegelapan. Lebih baik kau nyalakan secercah cahaya bagi mereka yang kegelapan. Tebarkanlah iman dengan cinta. Gubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti, setelah itu bolehlah bersiap untuk mati. Kalau kelak dating hari perjumpaan, basahkan bibirmu dengan ucapan kalimat toyibah: Laa illaha illallah.

* Digunting dari Harian Jawa Pos (Radar Jogja) Edisi 7 Oktober 2007

[+baca-]