Innalillahi wa innailaihi rojiun. Jogja kehilangan sosok yang hari-harinya dihabiskan untuk membuka khasanah masyarakat melalui buku. Dia adalah Dauzan Farook. Dauzan menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu pagi (6 Oktober 2007) pukul 05.30 setelah dirawat di RS PKU Muhammadiyah Jogja.
Dingin udara pagi yang menusuk tulang seperti tak terasakan saat tersiar kabar duka dari rumah sakit. Dauzan meninggal. Berita yang mengagetkan seperti petir di siang hari bolong ini langsung menyebar ke seluruh warga Kauman. Kauman adalah tempat tinggal sekaligus kampung kelahiran almarhum.
Berdasarkan biodata yang tersimpan di rumahnya, Dauzan lahir tahun 1925 di Kauman. Anak, saudara dan kerabat serta warga Kauman, bergegas menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 300 meter. Sementara yang lain menuju rumah Dauzan di Kauman GM I/328.
Rumah yang terletak di gang paling barat kampung Kauman ini sehari-harinya difungsikan sebagai tempat perpustakaan umum. Dua jam kemudian, jasad almarhum langsung dibawa ke rumah salah satu anaknya di Kadipaten KP I/292.
Di antara para takziah, tampak antara lain Wali Kota H Herry Zudianto, Direktur RS PKU Muhammadiyah Jogja dr HM Iqbal, anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), kalangan perguruan tinggi, aktivis perpustakaan dan para legiun veteran. Kedatangan bekas para pejuang mempunyai hubungan sejarah dengan almarhum.
Sebab, Dauzan semasa muda pernah berjuang melawan penjajah. Dia bergabung dengan pasukan Sub Wenkreise (SWK) 101. Ia pernah terlibat baku tembak dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kotabaru pada 6 Juli 1947.
Juga mati-matian saat terjadi kontak senjata pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Bahkan, di rumahnya terdapat foto kenang-kenangan ketika berpose dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. "Beliau pernah memanggul Pangsar saat bergerilya," terang Drs Ali Mansyur, menantunya.
Almarhum di mata Wali Kota Herry Zudianto adalah termasuk orang baik saat ini. "Beliau orang yang tidak banyak bicara, tapi lebih banyak memberi manfaat untuk masyarakat," tutur suami Hj Dyah Suminar ini.
Dauzan juga sosok yang bekerja dengan ikhlas daripada menuntut haknya sebagai masyarakat. Herry menempatkan almarhum sebagai lambang masyarakat madani yang mempunyai semangat memberdayakan dirinya. Nah, kenangan berkesan bagi Herry adalah ketika didatangi almarhum. "Beliau sering datang ke rumah hanya untuk meminjami buku," kenangnya.
Di rumah duka juga terdapat beberapa karangan bunga. Antara lain Global TV. Sekadar diketahui, televisi nasional ini sempat menayangkan liputan khusus mengenai kehidupan Dauzan Farook. Hasil liputan ini diputar Jumat dini hari (5/10).
Saat diwawancarai, Dauzan hanya mengenakan celana panjang dengan dada telanjang. Di leher terdapat kalung tasbih. Semasa hidup, Dauzan menikahi dua wanita. Yakni Zaringah dan Siti Sudarinah. Perkawinannya dengan Zaringah dikarunai tiga anak. Sedangkan dengan Siti Sudarinah melahirkan lima anak. Rumah di Kadipaten adalah anak dari perkawinan istri keduanya.
Tentu saja, disemayamkannya almarhum Dauzan di Kadipaten membuat kecele para takziah. "Saya kira berangkat dari sini," kata Kabid Pembina dan Perkembangan Perpusda DIJ Tulus Widodo.
Ada yang langsung ke Kadipaten, ada pula yang menunggu di Masjid Kauman. Karena pukul 14.00, keluarga memutuskan almarhum dibawa ke Masjid Kauman sebelum diberangkatkan di Makam Pahlawan Sawit Gamping.
Almarhum dikenal sebagai pejuang pada masa kemerdekaan melawan penjajah. Namun sejak tahun 1990 hingga menghembuskan nafas terakhir, Dauzan dikenal sebagai pustakawan. "Saya terpanggil untuk terjun ke medan perjuangan membela tanah air lewat jalur pendidikan. Yaitu mendirikan perpustakaan keliling Mabulir (majalah buku bergilir)," tutur Dauzan dalam buku hariannya.
Dauzan pun mewujudkan obsesinya. Perpustakaan berciri proaktif, gratis dan sistem kelompok multi level reading ini terus disosialisasikan ke masyarakat. Dia memperoleh buku-buku dari kocek pribadi. Dan, perjuangan Dauzan tidak sia-sia.
Masyarakat, pecinta buku dan kalangan perguruan tinggi, termasuk pemerintah, mengacungkan jempol untuk kerja keras Dauzan. Bantuan buku berbagai judul terus berdatangan. Karena terus bertambah, dia menyulap rumahnya menjadi tempat perpustakaan umum.
"Jumlah koleksi buku saat ini mencapai sekitar 25 ribu buku," kata Muhtasib, asistennya. Masyarakat yang berdatangan untuk membaca dan meminjam buku semakin banyak. Mulai anak-anak, remaja, mahasiswa hingga orang tua dari berbagai kalangan.
Itulah sebabnya, banyak pelanggan yang merasa kehilangan dengan sosok yang tak pernah lelah mengajak masyarakat membaca buku. Tak mengherankan, bila Dauzan menerima sejumlah penghargaan. Antara lain penghargaan Reksa Pustaka Bakti Tama taahun 2006 dari Gubernur Sultan HB X.
Pada tahun yang sama, Dauzan juga menerima penghargaan dari Ikapi pada acara pameran buku di Assembly Hall, Jakarta. Penghargaan ini dipajang di tempat perpustakaannya. Di sebelahnya, terdapat sajak karya Dauzan berjudul In The Name of Allah:
Berhentilah mencaci maki kegelapan. Lebih baik kau nyalakan secercah cahaya bagi mereka yang kegelapan. Tebarkanlah iman dengan cinta. Gubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti, setelah itu bolehlah bersiap untuk mati. Kalau kelak dating hari perjumpaan, basahkan bibirmu dengan ucapan kalimat toyibah: Laa illaha illallah.
* Digunting dari Harian Jawa Pos (Radar Jogja) Edisi 7 Oktober 2007
Minggu, 07 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
1 komentar:
Luar biasa....dari ujung negeri hingga ujung kenikmatan. Kepuasan yang tidak bisa dinilai dengan materi. Hanya hati dan pikiranlah yang menjadi saksi nyata dari kepuasan. (By Pecinta Sejati/ Roy Siagian)
Posting Komentar