Selasa, 20 Mei 2008

Rian Hamzah, Mengayuh Minat Baca dari atas Sadel

Sepeda mini abu-abu berkeranjang merek Polygon itu sudah kusam. Di beberapa bagian bahkan tampak agak ringkih. Berbeda dengan sepeda lainnya, buku-buku memenuhi keranjang dan boncengannya. Bendera merah-putih pada sebilah kayu dipasang di boncengan sepeda itu.

Pemiliknya, Rian Hamzah, 34 tahun, menamainya Perpustakaan Keliling Sepeda Pintar. Sehari-hari Rian mengamen dengan membaca puisi di kendaraan umum. Sambil “bekerja”, ia menggunakan sepeda yang dibelinya awal tahun lalu seharga Rp 500 ribu itu untuk menularkan kegemaran membaca kepada anak jalanan. Saban hari ia mengayuh sepeda dari halte ke halte, dari lampu merah ke lampu merah, membawakan bacaan kepada anak-anak itu.

Jumlah yang ia bawa tak banyak, kurang dari 50 buku dan majalah sekali angkut. Rute tetapnya Jatinegara, Pramuka di Jakarta Timur, Proklamasi, Imam Bonjol, hingga Bundaran Hotel Indonesia di jantung Jakarta. "Jalan-jalan itu biasa saya lewati," kata penduduk Jatinegara itu, Rabu lalu. Di rute itu ia sudah punya pelanggan. Tapi tak jarang ia bersepeda sampai ke Cibitung, Bekasi.

Menikmati koleksi Sepeda Pintar itu tentu saja gretong, tanpa bayar. "Mereka mau membaca saja sudah syukur," ujar lulusan Sekolah Pembangunan Pertanian di Sumedang, Jawa Barat, itu. Tapi ia mengaku tak kesulitan mendapatkan penggemar. Sepedanya kerap memancing keingintahuan anak jalanan.

Yang paling digemari bocah-bocah itu bacaan yang bergambar. Ada juga yang melihat-lihat buku umum dan menanyakan isinya kepada Rian jika tak paham. Meski sebenarnya berminat, mereka paling lama membaca sekitar 15 menit, saat lampu hijau. Kalau lampu merah menyala, mereka melempar lagi bacaan ke sepeda.

Rian memulai perpustakaan kelilingnya dari Sanggar Teater Alam Kita di Kampung Melayu Kecil, Jakarta Timur, lima tahun lalu. Di sanggar itu ia dan beberapa temannya kerap bertukar bahan bacaan. Makin lama buku dan majalah yang terkumpul makin banyak. "Lalu terpikir kenapa nggak dibawa keliling pas lagi ngamen." Dengan berkeliling, buku dan majalahnya bisa dinikmati lebih banyak pembaca. Tapi tak semua koleksi dibawa berkeliling, sebagian di sanggar.

Rian membeli sebagian besar bahan bacaan itu dengan uang hasil mengamen puisi, mendongeng, atau honor bermain teater. Untung, istrinya tak pernah memprotes dan malah mendukung. "Yang penting dapur tercukupi," ujar ayah dua anak itu.

Ia kerap dijanjikan bantuan jika diundang mendongeng di acara-acara Pemerintah DKI Jakarta. Tapi bantuan tak pernah datang. Proposal permintaan bantuan bukunya juga tak pernah disetujui. Satu-satunya yang memberinya bantuan sekitar 200 buku adalah seorang ibu, istri polisi. Ada buku, juga majalah. Kebanyakan bergambar, tentang rambu lalu lintas. ENDRI KURNIAWATI


* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 21 Mei 2008

Tidak ada komentar: