Minggu, 12 Agustus 2007

Ferina Permatasari: Sembahyang Buku si Anak Rel

Oleh Muhidin M Dahlan

Saya menyeret Ferina Permatasari—lahir 4 Feb 1977—di sebuah tikungan rel yang berkilat karena tiap lima menit digosok roda besi dan memintanya meletakkan telinga kanan di bantalan rel sebelah kanan. Lalu ia merunduk perlahan dengan lutut memacak di tanah yang kasar. Dari jauh, sejarah silamnya memanggil-manggil kenangannya. Kenangan itu tersusun tak putus-putus di palung kesadaran seperti ikatan batang-batang beton yang menyanggah besi panjang lintasan kereta yang bergerak melingkari kota.



Di bantalan rel, kereta listrik menderum cepat seperti buku yang dibaca dengan setengah berteriak dari mulut seorang anak kecil mungil yang senang dengan warna pastel. Ia belajar mengeja huruf dalam buku cerita dengan lafadz harus keras karena suara roda kereta yang memukul keras di persendian rel.

Ferina adalah anak kecil yang menghidupi bisingnya kereta dengan buku. Dihabiskannya waktu sekolah SMA 37-nya yang bersisian garis rel. Dara Palembang superasli ini (bapak Palembang, ibu Palembang) memang tak lalu jadi masinis atau srikandi-srikandi kereta. Ia menjadi srikandi buku yang dengan jalan memutar coba menghidmati ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebagaimana Dumaria Pohan di Medan dan H Tanzil di Bandung. (Siapa keduanya, Fer? Temanmu juga?)

Dia, hari itu, ingin menunjukkan saya sejarah bagaimana buku-buku itu masuk di lemari bukunya. Lemari buku itu berwarna, dan dikait atasnya tertulis alamat: http://lemari-buku-ku.blogspot.com. Namun saya menampik dan bilang: saya sedang lapar dan atap Jakarta mempercepat rasa haus saya. Dia bilang sebentar lagi nyampe di rumahnya di Depok sambil matanya sibuk mengincar spanduk-spanduk kusam warung semipermanen terdekat. Dia memilih warung mie ayam. Katanya kalau makan di luar, ia lebih memilih mie apa saja. Mie instan juga boleh. “Saya juga suka bubur ayam. Favorit saya sih bubur ayam di Cipanas, tapi sekarang udah menurun kualitasnya, dan beralih ke bubur ayam Barito atau di Panglima Polim,” katanya sambil tersenyum melihat saya sedang belepotan memegang sumpit yang tak sanggup mengait mie yang berasap itu.

Diletakannya sebiji buku yang tak terlalu tebal. Katanya, kebiasaan membawa buku ke mana-mana itu sudah melekat sejak kecil. Bahkan untuk sarapan pagi ia menyertakan buku. Lantaran lama mencari buku sebelum sarapan dia pun kerap kesiangan dan terlambat sekolah. Lalu, kebiasaan itu kian merajalela saat memasuki usia bisa cari uang sendiri. Apalagi jalan tol di Jakarta sudah langganan macet. Dan sekarang bukan cuma ke kantor saja bawa buku, tapi ke mana saja. Apalagi kalau penasaran sama isi buku itu dan dia terpancing habis-habisan ingin menyelesaikan cerita dalam buku itu. Buku juga berguna sekali kalau lagi menunggu dokter. Buku setebal The Historian karya Elizabeth Kostova menjadi salah satu buku penunggu dokter. Si gemuk atau si kurus, tak pandang bulu, dia sambar untuk jadi teman jalannya.

Di atas meja warung bakmi ini si kurus yang kena giliran jadi satpam jalannya. Dan tentu saja saya.

Seusai dia membuka dompet dan mengeluarkan selembar jeroan birunya, kami berlalu. Dan sepanjang jalan menuju rumahnya dan keinginan memasuki lemari bukunya, dia berkisah soal lain tentang apa yang sudah dia kerjakan selama ini.

“Pertama kali kerja waktu kuliah semester akhir, judulnya sih magang, di salah satu kantor akuntan, tapi hanya bertahan 2 bulan aja. Alasannya karena ya... waktu itu ortu masih ngelarang anak gadisnya pulang di atas jam 12 malem, kerja setiap weekend (takut gak punya social life, kali ya...)... tapi, ada untungnya nih magang di sini, soalnya sempet ikutan audit ke Medan... kalo gak, sampai sekarang belum tentu udah liat Danau Toba. Nah, setelah lulus kuliah tahun 2000, langsung dapet panggilan kerja di salah satu perusahaan internet travel. Sebelum bom Bali pertama, bisnis di kantor ini lumayan lancar... tapi, gara-gara bom itu, kena efek juga berupa pengurangan gaji karyawan.. hiks... Dan dari tahun 2003 sampai sekarang, kerja di konsultan hukum. Sering dikira salah satu pengacara setiap kenalan sama orang, jadi harus pake tambahan... “Bukan lawyernya, tapi di bagian accounting.”

Sebelum mulutnya nerocos lagi, saya langsung nyambar posisi: “Dan buku Beijing Doll itu?”

“O, itu kerja sambilan..., buku terbitan Banana Publishing. Itu satu-satunya buku yang pernah diterjemahin (sampai sekarang).”

Dia beristirahat sejenak di ujung gang. Menghirup beberapa kubik udara lalu menghembuskannya. Di dahinya membintik beberapa butir air kotor dari pori yang dilumut debu. “Sorri. Nggak boleh terlalu capek. Aku lagi hamil nih,” katanya lirih. Dia memang belum lama ini menikah dengan Allen Ardinal. Tapi anehnya dia memanggil suaminya itu dengan: Bagus. Sepotong nama yang mengingatkan saya pada Den Baguse di buku puisi liris Linus Suryadi, Pariyem.

“Itu rumahku!” tunjuknya. Rumah yang ditunjuknya itu rumah dengan cat biru langit cerah dan disapu ungu muda. Di depannya mengonggok burung gemuk berparuh raksasa entah bernama apa. Saking raksasanya, burung itu memikul kabel listrik yang melintasi pepadi yang membentuk samudera kuning.

Tentu di dalam rumah itu lemari bukunya bersandar rapat di dinding-dinding. Namun katanya, rumahnya itulah lemari bukunya. Di situ, bukan cuma rumah berpatung itu yang ada, tapi beberapa rumah serupa. Saya menduga bahwa kawasan ini adalah deretan perumahan dengan warna-warna Andy Warhol, si raja warna pop itu. Dia hanya tersenyum kecil melihat saya yang masih terbingung-bingung di depan pintu.

“Itu semua rumahku!” katanya pendek.

Tersedaklah saya saat itu juga lantaran kaget dengan siapa saya berhadapan. Saya kemudian jadi awas kepada siapa saya sedang berbincang dan berjalan. Dia tentu bukan orang sembarang. Dia bilang pengetahuannya untuk membangun rumah-rumah maya yang asri dan penuh “nuansa” itu diperolehnya dari sejak kuliah. Namun buru-buru dia menambahkan bahwa saat itu dia belum maniak. Barulah dia intensif berhadapan dengan ilmu gaib internet itu sewaktu kerja di perusahaan internet travel.

Alasan dia, di setiap komputer ada fasilitas internetnya. Menurut saya dia adalah salah satu spesies yang mencari kerja dengan mempersyaratkan bahwa kantor itu harus berinternet. Sewaktu diterima pertama kali bekerja konsultan hukum, dia tak kebagian jatah internet karena dianggap sebagai ‘anak bawang’. Lantas itu membuatnya “mati gaya” kalo lagi disangsai rasa bosan mematikan alias ngantuk alias... Sebab hanya internet yang menjadi alat revolusinya untuk membunuh waktu-waktu usangnya; terutama chatting dan bergabung dengan milis. Dia tentu bukan lagi gadis kecil di pinggiran rel yang melafadz buku dengan suara keras lantaran dia sudah bergabung dengan komunitas-komunitas di milis. Milis pasar buku adalah milis pertama dia bergabung. “Dan dari sinilah cikal bakal aku mulai menjadi ‘kutubukugila’. Apalagi milis yang kuikuti sudah ketambahan milis kutubukugila setelah qanita dan klub sastra bentang.”

Dan apa boleh buat, nama besar itu pun disebutkannya juga akhirnya. H TANZIL (mesti saya tulis dengan huruf kapital agar selalu diberkati dan dijauhkan dari asap), “... adalah orang yang paling ‘berpengaruh’ buat aku dalam hal tulis-menulis review buku. Dari beliau aku kenal milis resensi buku, yang membuat aku memberanikan diri mengirim resensi sederhanaku ke milis itu. Sekalian latihan nulis, deh...,” katanya lirih dengan mata tak berkaca-kaca. Hiks.

Tapi, bukan saja dia jadi orang gila di milis orang gila buku, tapi malaikat cintanya pun hinggap di hatinya juga lewat dunia gaib ini. Ya, si Den Baguse itu.....

***
Seusai mencuci muka yang baru saja disetrika oleh debu jahanam Depok, dia lantas menuju sofa favoritnya yang lembut. Di sisiannya ada beberapa buku bergeletak di sana. Dan memang lemari bukunya banyak dihuni oleh jenis buku-buku fantasi semisal serial Harry Potter atau Lord of the Rings. Lalu buku anak-anak seperti buku-buku Roald Dahl. Komik seperti Asterix dan Smurf. Kalau yang agak serius, mungkin sedikit berbau thriller seperti buku-bukunya James Patterson, Agatha Christie. Dia suka buku jenis ini, karena dia rupanya butuh yang namanya ‘sport jantung’.

Dia rebahan dengan tangan meraih sebuah buku bersampul merah. Sementara saya masih di gigir jendela dari kaca yang setengah terbuka sambil mengintai rumah-rumah yang lain di kawasan warna-warna cerah ini. Saya menghitung ada empat rumah-rumah cerah di sini. Dan semua itu milik mantan anak rel ini. Saya ingin bertanya siapa tahu rumah-rumah itu menegak dengan menyandang nama. Mata saya hanya memincing pelan ke arahnya karena tak mau mengganggunya yang sedang suntuk membacai Perempuan Terluka karya Qaishra Shahraz.

“Kamu ingin menanyai rumah-rumah itu kan?”

O o o, gumam saya ber o o o sampai tiga kali dalam hati. Pedalamannya tajam juga membacai pedalaman saya. Matanya masih tetap mengiris baris-baris buku sementara mulutnya menunjuk-nunjuk lincah rumah-rumah itu. Saya mengikuti pertunjukannya dengan mata yang berpindah dari satu rumah ke rumah lain, sementara matanya hanya berkilat-kilat di halaman buku.

“Ke empat rumah itu masih ‘dimaintain’ dengan intensif’. Rumah yang di sana dan pertama kali kubuat di kawasan ini namanya http://justanotherstories.blogspot.com. Itu rumah berantakan sekali. Pendeknya seisinya tentang barang sehari-hari dipakai. Kalo ada kejadian menarik buat dikeluhkan dan sekaligus ditulis... ya, kumasukkan di rumah ini. Di situ aku nggak bisa masuk dalam baris-baris buku karena terlalu ramai. Rumah ini kubuat untuk sebuah fantasi dan aku di sini pun belum terlalu lama; sekira Januari 2007. Dan kutuliskan fantasi itu sebagai resensi. Tapi upss, apa pantes ya kalo disebut resensi, karena rasanya sampai sekarang aku masih ‘menulis ulang’ ringkasan buku yang aku baca, hanya paling satu paragraf pendek yang nulis tentang pendapat untuk buku yang aku baca itu.

“Lain lagi rumah yang itu tuh, di depan agak serong ke kanan. Itu teater kecil kalau aku bosen dengan hidup. Namanya http://its-time-for-movie.blogspot.com. Intinya sama dengan rumah bukuku ini, tapi di sana isinya ‘tulisan ulang’ film-film yang kutonton. Biasanya, tiap weekend aku selalu nyempetin untuk nonton film.”

“Nah yang diujung sana itu namanya
http://f3r1na.multiply.com. Sebetulnya nggak pantes disebut rumah. Gardu mungkin lebih pas. Para tamuku, terutama laki-laki kutu buku gila, saya suruh nginep di sana. Isinya ya seperti para peronda yang sedang berkumpul di gardu. Gobal gabul, ngalor-ngidul. Isinya mlulu komentar singkat, atau kutipan singkat kalimat di buku yang kubaca atau film yang kutonton. Gardu itu hanya menampung segala macam keisengan walaupun saya pikir-pikir cukup seru juga....

Dia meletakkan kacamata mungilnya dan mengambil kacamata yang lain. Saya mengambil posisi agak ke samping. Tetap saja jauh darinya. Dia menukar kacamata itu dengan lebih tebal dengan gagang hitam yang besar. Konon, kacamata menunjukan kerakusan dan kerasukan dengan buku. Makanya, kacamata model yang dipakai Kuntowijoyo atau Soedjatmoko atau Soemitro menunjukan identitas intelektual yang menjadi pemamah buku yang lahap.

Tapi dia baca novel. Lalu tertawa. Awas, dia sedang kerakusan.... eh kerasukan! Dia tertawa lagi. Nyengir. Rupanya dia sudah berganti buku. Cepat amat. Dia sedang bersekutu dengan Keluarga Flood karya Collin Thompson.

Dalam sekejap dia sudah terbahak-bahak. Lalu setelah itu seperti meringis membayangkan hubungan keluarga Flood dengan keluarga Dent. Kemudian dia kembali mematung. Ada serombongan mahasiswa lewat di halaman rumah. Menggoyang-goyang tubuh burung raksasa di atap rumah. Nggak ngaruh. Burung itu tetap saja tegak. Lalu mahasiswa-mahasiswa itu lenyap di balik awan. Ada yang memanggil-manggil di luar rumah. Saya mengintipnya. Tampaknya penjaja sayur. Tapi Ferin sudah terlelap dalam tidurnya di rembang senja itu.

Malamnya dia bangun dan khusyuk menghadapi dengan intim berhala ciptaan Bill Gates. Suara ketukan jarinya lirih bukan lantaran malam hanya berteman bulan kuburan, tapi karena dia memang tak terlatih untuk mengetik cepat 250 huruf per menit. Dia menarik napas beberapa teguk. Malam itu dia bernazar untuk menyelesaikan dua buku sekaligusnya.

Rajinnya dia bangun malam lantaran janji pada dirinya sendiri agar selalu menuliskan apa yang sudah dibacanya dan setiap pekan sekali dia menyiarkan apa yang dibacanya kepada teman-temannya sesama penggila buku. Namun dia mengelak. Katanya pernah dalam dua minggu lemari bukunya tak disentuh. Makanya dia bersiasat, biar agak teratur, kalau lagi baca buku tebal, dia akan menyelinginya dengan buku yang lebih tipis. Biar lemari bukunya tetap mengepul dan berasap.

Dia juga menyinggung soal penulisan malam itu. Seturut tuturannya, dahulu sekali, ketika mau membuat resensi buku biasanya dia terlebih dulu nulis di buku catatan baru kemudian di ketik di komputer. Waktu berjalan, metode bergeser. Dia hanya mencatat nama-nama tokoh dan kejadian-kejadian penting dalam buku itu, lalu dikembangkan di komputer. Dan sekarang metode berubah karena rasanya lebih praktis dan cepat kalau dia langsung nulis di komputer. Sekali kerja sudah itu beres. Seperti halnya dia membereskan televisi yang beberapa waktu silam sudah dia kubur di gudang belakang karena dia tak bisa memanjatkan doa khusyuk ke hadirat buku yang maha kuasa jika ditemani suara berisik yang bersumber dari kotak sihir ajaib abad 20 itu.

Dia juga merasa bahwa dia lebih cepat dalam menulis resensi buku. Kadang 30 menit. Kalau yang lama biasanya sampai satu jam bersih dengan poles bedak gincu sekaligus kutes kukunya. Justru membaca yang lama. Apalagi buku-buku yang berpotensi jadi buku mogok dengan ketebalan yang kubikis. Mau tahu buku apa itu? Buku kumpulan cerpen atau kumpulan tulisan seperti bukunya Sigit Susanto yang berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. “Kaya’nya bingung aja mau ngambil ‘intisari’nya.”

Namun ada juga buku yang bukan hanya dia lama membuat resensinya, tapi sekaligus menghindarinya. Yakni buku jenis horor. Misalnya, Gadis Icarus yang ditinggalkannya begitu saja karena merasa tak nyaman bacanya meskipun baru halaman-halaman awal. Bahkan Sihir Perempuan, yang entah kenapa dia beli, diabaikannya begitu saja lantaran dia deg-degan baca sinopsis di sampul belakang. Dia juga bingung apakah ketaksukaannya dengan fiksi horor karena trauma atau senyawa dengan rasa takut dengan gelap. Selalu dia merasa ada sosok yang melayang-layang dan berwajah seram. Dia lebih bisa sedikit menerima buku jenis thriller yang ‘berdarah-darah’.

Di antara jeda antara menulis resensi satu buku dengan buku lainnya, suaminya, Den Baguse, muncul dan mengecup keningnya. Wajahnya perlahan kembali dialiri darah. Dia tersenyum dan berucap terimakasih. Suaminya berlalu dari balik pintu. Sementara saya sudah terlempar di rumah gardunya dan tertawa-tawa bersama angin, penggorengan bolong, aspal, bau selokan yang anyir, serta nyamuk sebesar kelinging yang selalu menyanyi lagu-lagu buruk Rindu Pada-mu darah.

Saya melihatnya berada di garis jendela tempat saya sesiang tadi menerawang keluar. Dipikirannya melintas saat-saat menjadi siswa Sekolah Dasar Tebet Timur 19 dan membaca Lima Sekawan. Dia selalu terbayang kalau mereka lagi piknik dengan sandwich dan limun-nya. Lalu dia tersenyum kecil membayangkan suasana di asrama Malory Towers bersama St. Claire dan si Badung di buku cerita Malory Towers. Apalagi acara mengendap-endap pas acara pesta tengah malam.

Dia juga seperti tak mau ketinggalan selera kolektif juga mencintai Donald Bebek yang disikatnya dari Om-nya yang kebetulan langganan majalah itu. Gara-gara Donald Bebek ini dirinya pertama kali kenal kata ‘egois’. Korbannya siapa lagi kalau bukan Om-nya sendiri. Senjata ditusuk ke tuannya. Kira-kira begitulah. Bolak-balik dia mengatakan bahwa si Om ‘egois’ sampai si Om sebel dan nanya, “Tau gak sih artinya egois?”

Tak lupa bahwa dia pernah menjadi pelanggan majalah Bobo. Favoritnya serial Pak Janggut. Pernah juga ia tergila-gila sama Asterix dan Smurf. Sampai-sampai pernah berkhayal kalo Smurf itu ada dan ingin sekali ke perkampungan Smurf. Gara-gara Smurf juga, dulu pernah ada permen rasa sarsaparila dan minuman rasa sarsaparila yang jadi permen dan minuman favorit.

Waktu di SMP Negeri 115, Tebet, minat bacanya sedikit merosot. Bacaannya palingan hanya majalah Gadis yang hanya boleh dibeli setiap hari Sabtu sama bapak-ibu. Dia juga sudah mulai pacaran dan lebih sering nulis surat cinta ketimbang baca buku, dan lebih suka dengan musik metal ketimbang membaca.

Sewaktu di SMA Negeri 37 Kebon Baru, dia kembali diserang komik di sebuah kurun ketika teman-temannya lagi dirasuki penyakit kuning baca komik Jepang. Yang paling dia ingat tentu saja komik Candy-Candy dan Kung Fu Boy. Dia ngelak kalau disebut fans berat komik Jepang, walau dia sempat juga tersihir godaan maut mengoleksi serial Kung Fu Boy, Legenda Naga, dan beberapa lainnya. Tapi tak berlanjut. Dia malas menunggu sambungannya yang biasa lambat terbit.

Di gardu itu, saya melihat suaminya menutup pintu pagar. Beberapa benda di gardu itu pamit satu per satu. Yang tertinggal hanya nyamuk dan dan bau selokan yang selalu menggoda saya. Beberapa kali saya bermain petak umpet dengan nyamuk yang menyelinap hingga ke lemari bukunya. Dan saya langsung mendengar kata makian. Nyamuk mati. Dan tinggallah saya sendiri. Mata tak terpejam dan terpojok di papan pengumuman jadwal ronda. Di atas tripleks warna gelap itu tertempel dua kertas. Rupanya tulisan tangannya.

PAMFLET A: “Banyak manfaat dari membaca tulisan orang lain tentang buku yang mereka baca. Paling gak, kita bisa memilih mana nih buku yang cocok buat kita, mana buku yang kira-kira ‘penting’ gak sih buat dibeli atau dibaca, mana buku yang ‘heboh’ tapi ternyata biasa-biasa aja. Mana buku yang seru dan mana buku yang gak menarik. Moga-moga sih, dari menuliskan apa yang kita baca dan bagi ke orang, kita bisa membantu mereka seperti kita merasa terbantu dengan tulisan orang lain.”

PAMFLET B: “Kita biasanya mikir, apa sih gunanya ngeblog... tapi, ternyata ngeblog punya keasyikan sendiri yang bikin kita kecanduan. Kalo weekend gak liat blog sendiri atau orang lain, rasanya suka ada yang kurang. Ngutak-atik blog juga kadang jadi keasyikan tersendiri, ya... paling nggak bikin refreshing-lah....Salah satu gunanya ngeblog-terutama ngeblog buku—selain seperti disebutin di atas, menambah teman di dunia maya dan informasi perbukuan....”

Belum selesai saya membacai kalimat terakhir PAMFLET B, ada tangan yang merabai pundakku yang membuat mata kaki saya mendelik ketakutan dan jantung saya hampir terjun bebas lantaran masih teringat dengan film Bayi Ajaib di bioskop sebelah. Tampak seperti menyembul dari layar bumi seorang tua namun tetap tampil segar dan bersahaja. Oh, syukurlah Tuhan. Saya mengira habislah riwayat saya disandera bapak jin. Dia menyebut namanya: Syaiful Anwar Damer. Dia bilang bahwa dia adalah ayah Ferina, Rina, Ferin, Fe. Dalam hati saya berkata, orang inikah yang telah membuahinya kecintaan akan buku dan mendorongnya untuk rajin membaca ketimbang nonton atau beli kaset. Orang inikah yang dengan senang hati ditodongnya beli buku ketimbang beli kaset. Dan sumbangsih orang ini kini telah digantikan oleh warga bangsa milis yang menuntunnya untuk membeli buku. “Orang-orang seperti Om Tan, Kobo dan lain-lain itulah yang berpengaruh dalam ‘selera’ memilih bukuku sekarang ini.”

Saya bangun kesiangan di gardu itu saat dia menyentuh ujung kain saya yang dilemparkan pedagang asongan karena kasihan lihat saya bersilat semalaman penuh dengan gerombolan nyamuk brengsek. Disodorkannya segelas teh panas tak bergula yang enggan saya tuang ke gerbang usus saya. Pasalnya saya terbiasa minum teh bergula. “Sana mandi! Di belakang gardu itu ada kamar mandi!”

Saya beranjak dan tak berapa lama kemudian kembali dengan agak lebih segar. Ujung penciuman saya sesaat mencium wangi bedak bayi yang menguar dari tubuhnya.


Sembahyang Buku

Hari kedua dari jadwal dua hari berkunjung kepadanya kembali dimulai. Daftar agenda yang sudah kususun akhirnya kutelan kembali karena dia mengajak saya ke toko buku yang sering dikunjunginya. Menurutnya ada dua tempatnya untuk beli buku: langsung ke toko buku atau beli online. Kalau online, bisa lewat inibuku.com atau bukukita.com, atau beli lewat orang-orang yang menawarkan buku-buku bekas.

Kalau beli langsung, maka toko buku favoritnya di Gramedia Pondok Indah Mall atau di Kinokuniya Plaza Senayan. Dia bahagia betul sewaktu ada rezeki jalan-jalan ke Singapura dan berjumpa toko buku Borders. Di situ serasa dia tak mau lagi kembali ke Depok dan ingin memborong semua buku di sana.

Jadwal pagi itu sudah ditentukan: Gramedia Pondok Indah Mall. Dia kerap belanja di sini. Alasannya klasik: tempatnya luas, buku-bukunya banyak, mau yang baru atau yang lama. Kalau dia ke Kinokuniya Plaza Senayan, alasannya karena tempatnya nyaman. Walau tak bawa buku pulang, melototi saja sudah puas.

Seperti pertemuan kemarin, selama perjalanan itu dan saat berkeliling di dalam istana pasar buku yang riuh, dia bercerita tentang kegiatannya selama ini bersembahyang buku di toko-toko. Biasanya, langkah awal yang dia lakukan adalah menyusuri semua rak, seperti menghitung saf barisan prajurit buku dari depan sampai belakang. Sebagaimana kutu buku lainnya, sudah sangat dia hapal kalau di depan pasti buku terbaru yang masih dalam tahap promosi atau buku terlaris. Lalu dia rayapi satu per satu rak itu. Dimulai dari buku sastra seperti novel sampai buku anak-anak.

Setelah rukun sembahyang pertama itu ditegakkannya, dia mulai yang lebih serius dan biasanya berlama-lama di rak buku incarannya. Kalau sudah tahu yang diinginkan, tanpa panjang nalar, buku itu akan berpindah ke keranjang dengan tak lupa memeriksa kemulusan fisiknya. Tak boleh ada ketekuk sedikit pun, pinggiran buku harus mulus, sampul harus mulus, bahkan plastik pembungkusnya pun tak boleh ada yang sobek. Lima menit dibutuhkannya untuk membolak-balik mencari-cari cacat di buku itu. Sekecil apa pun. Meski dia rela merayapinya sampai ke tumpukan paling bawah, atau susunan buku paling belakang.

Kalau misalnya buku incarannya tak ada, dia akan kembali ke rukun yang pertama: meneliti secara khidmat tumpukan buku terbaru. Yang paling menarik perhatian, tentunya, kalau judulnya langsung membikinnya “terpana” dan membuatnya khasyf atau melayang-layang tak sadarkan diri. Apalagi kalau itu buku favoritnya dengan sampul yang menggoda. Kalau sudah menyodok hati dan hati terbuka, buku itu pun masuk keranjang.

Kerap dalam sembahyang itu ada sampai lima buku yang masuk ke keranjang. Tapi tak semuanya dia tukar di kasir. Makanya dalam keranjang itu, buku-buku itu saling menyikut berebut perhatian untuk masuk tiga besar yang masuk lemari bukunya di Depok. Sebelum masuk lemari buku pun, buku-buku yang berhasil memenangi perhatian itu mula-mula plastiknya dikoyak, lalu dia hirup uar aroma kertasnya, diambilnya sampul plastik, dan dibubuhinya tanggal dan tandatangan.

Kerap pula kekecewaan datang. Buku itu sudah lolos dari meja kasir. Namun ketika tiba masa penggayangan total di sofa bedah yang lembut, ternyata hanya heboh di sampul belakang ketimbang cerita yang sebenarnya. Kalau sudah begini, buku itu akan menjadi raja-raja mogok seumur hidup.

Selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas, soal mood menjadi salah satu hal yang mempengaruhinya dalam sembahyang buku. Dia mencontohkan keragu-raguannya atas godaan setan yang tak dirantai oleh Tuhan sewaktu mau beli buku OUT. Buku karangan Natsuo Kirino ini sudah pernah masuk keranjang, tapi dia batalkan karena katanya secara mental belum siap. Lalu esoknya di kantor, ketika cermin hatinya suci berseri, jari-jarinya asyik menggerak-gerakkan mouse dan meng-klak-klik menu-menu di sebuah situs belanja online. Lalu OUT pun dengan mudah masuk ke lemari bukunya.

Nah, sekarang ini dia sedang menunjukkan pola sembahyang bukunya kalau berada di jalur gaib alias online. Dia bilang belanja amalan gaib atau online ini bisa bikin kalap, sebagaimana kekalapan para Muslim saat tahajud malam. Sebab begitu mata terpacak pada buku baru yang ‘terpajang’ di sana, pikirannya langsung membisik: “Wah, harus segera punya.” Apa lagi tergoda rabat, meski itu ‘hanya’ 15 %. Ada lagi ketakjuban dari sembahyang online ini. Yakni saat menanti pengiriman yang memakan waktu sampai dua tiga hari. Ada greget ingin cepat-cepat melihat buku baru hasil ‘jarahan’ di situs online.


HARI SENIN DATANG KEMBALI. Bagi orang kantoran, hari Senin adalah hari buruk karena memutus rantai kesenangan yang pendek umur. Tapi seperti biasanya, dia sudah datang pagi-pagi ke kantor. Bukan karena gila kerja, tapi pagi yang masih sepi itu digunakannya untuk membuka semua katup email, menatap dan meratapi blog-blognya, dan mengintip blog-blog teman-temannya.

Tak ada jejak komentar atau pesan di rumahnya di hari yang cerah itu. Kecuali secarik kertas yang ditulisnya dengan pelan tentang ibunya, Halyanani Djuwita:

“Mungkin kalo lagi pacaran, kita akan bilang tentang pasangan kita, ‘Aku gak bisa hidup tanpa dirinya.’ Mungkin seperti itulah arti Ibu secara keseluruhan buat aku, aku gak akan pernah bisa ngebayangin, kalau dalam hidupku gak ada Mama. Ibu... bingung kalo disuruh gambarin artinya... tapi, yang pasti... di saat ini, aku lagi hamil.. .tiba-tiba aku merasa, aku pengen kaya’ mama... Mama yang meskipun keras... tapi tough.. tabah dan mendampingi papa dalam saat senang maupun susah. Mama, yang meskipun kadang susah diajak sebagai teman curhat, tapi tetap bisa sebagai teman gosip atau teman jalan-jalan. Mama, yang meskipun sakit, tapi gak pernah ngeluh atau nunjukkin kalau beliau lagi sakit. Mama orangnya tegas, tapi juga sangat perhatian sama anak-anaknya. Sekarang, kalo mama lagi pergi ke luar kota, baru berasa... kalo gak ada mama, semua jadi kelimpungan.. meskipun anak-anaknya udah pada besar.”

Sebagai uang tiket pulang ke Jogja, dia serahi saya lima lembar kertas berharga. Masing-masing dari kelimanya tertulis buku-buku yang paling tidak sampai saat ini mengubah hidupnya. Sebab sudah menjadi kebiasaan saya setiap hendak pulang selalu meminta dan memaksa para tuan rumah menyiapkan lima kertas jimat ini agar saya pulang selamat sampai di Jogja. Dan inilah kelima buku yang mengubah hidupnya:

(1) SMURF: aku akan selalu menjadikan smurf sebagai buku/komik yang paling berkesan dalam hidupku.

(2) MALORY TOWERS: sudah kusebutkan di kisah sebelumnya. Terutama keingananku hidup di asrama yang seru.

(3) DI TEPI SUNGAI PIEDRA, AKU DUDUK DAN MENANGIS: ini buku pertama Paulo Coelho yang sanggup aku baca sampai habis, dan lumayan bisa dimengerti. Cerita ini aku baca ketika aku sedang dalam masa-masa gundah dalam hubunganku dengan calon suami (waktu itu), dan, aku cukup mendapat ‘pencerahan’ setelah baca buku ini.

(4) PERPUSTAKAAN BIBBI BOKKEN: pengen rasanya punya perpustakaan seperti Bibbi Bokken yang ditulis Jostein Gaarder itu.

(5) THE KITE RUNNER: hanya satu alasannya, karena kalimat Khaled Hosseini ini, “.... untukmu keseribu kalinya...”

Tidak ada komentar: