Minggu, 12 Agustus 2007

Dumaria Pohan: Kuitansi di Kiri, Buku di Kanan

Oleh Muhidin M Dahlan

Jika kalian bertanya, bisakah seorang akuntan dilamun buku lantas mabuk, khususnya oleh karya-karya fiksi, sama halnya kalian bertanya apa masa iya Tirto Adhi Surjo yang dalam novel Pram bernama Minke itu adalah seorang akuntan yang pada edisi 1903 di Soenda Berita menulis artikel bagaimana menulis dan cara mengisi kuitansi. Dan Tirto, selain sebagai penulis fiksi, juru kronik yang kronis, serta pengarang fluitton yang prolifik, adalah juga suluh pergerakan ketika semangat nasionalisme masih dalam janin.



Dia mungkin tak akrab—atau bahkan tak kenal—dengan Tirto atau Minke. Pun menyamakan atau membandingkan keduanya adalah kengawuran yang barbar. Tirto adalah penulis dengan pena setajam belati, sementara dia hanya pembaca yang tulus dan rakus. Tirto adalah penyuluh pergerakan, sementara dia adalah karyawan biasa di sebuah lembaga ekonomi Amerika yang buka cabang di Medan. Pendeknya, tiada guna membanding-bandingkan keduanya. Sama seperti mempertemukan langit dan bumi. Lagi pula Tirto cowok, dia cewek.

Namanya Dumaria Pohan (31 tahun pada 16 Mei 2007). Ngakunya bule alias batak tulen dan bekerja sebagai finance and administration officer. Tugasnya seabrek, mulai dari mengurus finance, admin, HR, sampai memonitori organisasi-organisasi yang terima dana dari LSM tempatnya bekerja. Nama LSM-nya Lutheran World Relief dari USA. LSM ini supermungil yang menurutnya staff operasional-nya cuma 10 orang : 4 security guard, 1 office girl, 1 driver, 1 pimpinan, 1 financer, 1 project officer, dan 1 staff yang tugasnya ke sana-kemari alias kurir.

Sebelum terdampar di sini, Dumaria Pohan yang alumnus USU Medan ini pernah bekerja selama 7 tahun di kantor akuntan yang kemudian kolaps gara-gara kasus Enron di USA (bukan USU!).

Lalu kemudian dia mencintai buku dengan luapan hasrat yang membandang menjadi kisah yang menarik terkait dengan minat yang disuntukinya terus-menerus. Saya menyebutnya—entah kalian sepakat atau tidak—seperti pemegang lisensi sejarah kota yang menumbuhkannya dengan hangat dan penuh kasih. Medan adalah ibu Dumaria Pohan yang telah melewati garis sejarah hidup yang panjang dan gigantis. Di Medan, tradisi cetak—dan itu berarti tradisi membaca—bukan sesuatu yang sekonyong-konyong hadir baru saja.

Di masa lalunya, “ibu” yang bernama Medan ini menjadi enam kota besar di Indonesia yang menjadi kiblat tradisi percetakan dan pers sekaligus membiaknya pergerakan. Dari kota ini muncul penulis-penulis tangguh dan pendekar-pendekar pers yang mumpuni. Ada Dja Endar Moeda yang menjadi salah satu tokoh pers Medan mula-mula. Ada Hasboellah Parinduri yang menulis roman terkenal Pacar Merah Indonesia (kisah tentang pelarian Tan Malaka) dengan nama samaran Matu Mona. Ada Djamaloeddin Adinegoro yang namanya diabadikan sebagai nama lempeng penghargaan bagi wartawan yang berprestasi. Ada Parada Harahap yang menjadi pengusaha pers yang malang-melintang di Jawa. Begitu pula nama Burhanuddin Muhammad Diah yang tradisi tulis-bacanya dibesarkan di Pewarta Deli (Medan) lalu menguasai tatar Indonesia dengan korannya sangat terkenal: Merdeka.

Masih banyak nama ingin saya rujuk dari kota yang melahirkan begitu banyak penulis dan penubuh tradisi cetak di Medan ini. Dan Dumaria Pohan saya sebut sebagai pewaris sejarah itu dengan caranya sendiri. Dia bukan aktivis pers. Dia juga bukan aktivis buku dalam artian menjadi pekerja atau pembuat buku atau pemilik percetakan. Dia pewaris semangat membaca yang tulus dan rakus.

Genealogi kecintaannya atas buku justru diperolehnya dari kakeknya dari pihak ayahnya yang juga seorang pegawai kehutanan. Masih jernih diingatnya rumah kakeknya yang dijejali buku-buku. Di antara buku-buku yang berantakan itulah si gadis kecil ini membuat benteng-bentengan. Mungkin itu soal sepele, tapi bagi dirinya semangat mengenal buku adalah semangat main-main.

Dari main-main itulah ia menjadi pecandu. Bau buku itu menyengatnya hingga sewaktu SMP ia melahap banyak buku cerita di perpustakaan sekolah. Karya-karya penulis Indonesia seperti Ahmat Tohari dan NH Dini direguknya tandas. Fiksi-fiksi terjemahan di perpustakaan pun dirayahnya. Bingung dengan jenis bacaan apa lagi harus dia mamah, dia sikat majalah-majalah bekas ibunya. Dia cerap cerita-cerita pendek yang dimuat saban edisi di majalah Femina. Selesai di sini dia pun asang sepatu dan berlari ke perpustakaan tempat dia kursus bahasa Inggris. “Di sini aku mulai menjelajah ke buku-buku berbahasa Inggris. Mula-mula buku bergambar, lalu buku-buku cerita anak-anak dan remaja, lama-lama buku novel pop, akhirnya novel klasik pun disikat juga. Hahahaha,” tuturnya.

Rupanya di sinilah riwayat perama kali kenapa dia bergairah dengan novel-novel impor dan kenapa dia menjadi tukang belanja buku yang rakus. Coba tanyakan kepadanya bagaimana dia berbelanja buku, maka dia akan menjawab dengan lugas sambung-menyambung nyaris tanpa koma dan titik toko buku di negara tetangga yang ia singgahi bahkan sampai soal perbandingan harga. Kadang dia memesan buku ke temannya kalau jalan-jalan ke Singapura. Kadang dia sendiri juga turut ke sana. “Kalau aku jalan ke Singapura atau ke Kuala Lumpur, pasti pulang bawa setas hehhehehe. Terakhir itu aku pergi bulan Oktober tahun lalu, pulang bawa 12 hehehehe.”

“12 tas?” tanya saya heran.

“12 buku, gak mampu beli 12 tas hehehehe.”

Dia pun lalu merinci beda belanja buku di Singapura, Malaysia, dan Medan.

“Di singapura sih, aku biasa diletakkan teman-temanku di toko buku aja, mereka pergi shopping ke sana ke mari. Singapura ada Kinokuniya, tapi harganya beda dengan di Jakarta. Terus ada Borders (di Malaysia juga ada), yg nota bene chain bookstore dari USA. Sering ada promo-nya. Kalo di Medan, buku impor cuma bisa dapat di Gramedia, harganya 2 kali lipat dari di Singapura. Soal harga memang aku kurang tahu di Jakarta kayak apa, tapi dulu pernah aku ngecek harga di toko buku Aksara di Citos dan kubandingkan dengan di Singapura (Kino, pas gak diskon), harganya lebih mahal sekitar 30-60 ribu satu buku. Misalnya waktu itu aku pengen buku Artemis Fowl-nya si Eoin Colfer, di Aksara Jakarta itu harganya 100 ribu, aku beli di Singapura, kalau dirupiahkan sekitar 70 ribu. Kalau di Medan, bisa 120 ribu. Kayak tukang belanja benar-benar ya... hehehehe. Ups, ada satu lagi tempat belanja ku: tokobuku online. Hehehehe.”

Dia memang mencatat semua barang belanjaannya dan senang membanding-bandingkan harga. Maklum, bawaan sebagai akuntan perusahaan. Dumaria Pohan teramat sadar bahwa seorang akuntan yang sekaligus pelahap buku fiksi adalah dua padanan yang asing. Padanan yang pas adalah: buku kuitansi di kanan, sementara kalkulator di kiri. Tapi Dumaria Pohan tidak nurut atas kelaziman itu. Maka ditempatkannya semua peralatan yang berkait dengan kuitansi di tangan kiri dan buku-buku fiksi di tangan kanan. Kiri bertabur dengan angka yang pasti benar, sementara kanan berjejal dengan imajinasi yang kebenarannya jamak.

Bagi dia, membaca buku cerita adalah hasrat yang tak bisa ditolak dan ditalak. Dia adalah bawaan sejak dini. Dalam dirinya semangat itu berpadu dengan semangatnya sebagai akuntan. Dari hasrat abadi atas cerita itulah dia bertemu dengan tradisi blog yang tak pernah dibayangkan oleh para pendahulunya.

Dia salah satu majikan blog buku yang meriah. Ada beberapa blog yang rajin diurusnya. Ada blog buku, blog belanja buku, lalu satu blog untuk mencatat buku yang lagi dibaca (jadi besok-besok ketahuan mana buku yang mogok), dan satu lagi blog buat dia ngomong sekena-kenanya, sengalor dan sengidulnya di Multiply.

Awal ia kenal blog dari teman chat-nya dari Italia pada kurun 2004. Namanya Petra. Dari Petralah, dia tergerak membuka blog pertamanya: http://kobochan16.tripod.com/Mydays/. Tapi cepat-cepat dia memberi rambu peringatan bahwa blog itu bukanya susah dan loadingnya superlambat.

Dan dari alamat blog itu pula saya mencatat nama samaran pertama yang dipakainya: KOBO. Namun jangan terlanjur yakin jika ia pencinta 24 karat tokoh kartun mungilis dari Jepang itu. Sebab berhubungan dengan Kobo berlangsung tanpa sengaja. “Memang aku suka nonton dan baca komiknya, tapi bukan berarti dia tokoh favoritku. Nick itu kupakai karena sembarangan saja sebenarnya, waktu itu mau bikin account di Hotmail, cari nama account, pas ada komik kobochan di dekatku, yah aku pakai kobochan hehehe...” katanya kepada saya pada siang yang gerah saat sayup-sayup saya mendengar serdadu Angkatan Darat latihan baris-berbaris di markas besarnya.

Yang tak pernah dilupakan Dumaria Pohan adalah kalender 5 Februari 2005. Tanggal itu adalah patok yang telah dipacaknya sebagai bloger buku. Sejak tancap gas pertama, dia mengaku sudah meresensi buku walau setelah itu isinya macam-macam, gaduh, dan di sana seperti hukum rimba. Semuanya mesti ditumpahkan hingga ia berpikir bahwa perlu blog-blog khusus untuk menampung minat yang banyak.

Maka sebagaimana sudah disebutkan di awal, dia membuat macam-macam jenis blog. Blog bukunya (lihat:
http://mon-secret-jardin.blogspot.com/) tampak sengkrilip dengan bertabur warna lima balon yang menjadi lagu hafalan sejak usia batita. Sesekali fotonya nampang, sesekali hilang. Blog ini berisi buku-buku yang dibacanya. Umumnya buku-buku asing. Ada yang memang dikirimi penerbit seperti Gramedia dan kebanyakan dia beli sendiri. Tak tentu berapa uang yang disisihkannya untuk belanja tiap bulan.

“Gus Muh, soal budget itu tergantung kondisi keuangan saja. Tapi kadang bahkan dalam keadaan kritis, aku rela berhutang, hehehehe. Tapi sejak awal tahun 2007, aku sudah mencoba mendata pengeluaran untuk beli buku. Sudah kucatat diblog khusus mencatat belanjaan itu, http://tasbelanjakobo.blogsome.com/.”

Dari blog-blog inilah dia bisa berhubungan dengan para pencinta buku. Dia tergabung dengan penggosip buku dengan memakai banyak nama samaran yang diambilnya dari tokoh-tokoh dari cerita yang dibacanya. Nama samaran utama adalah Kobo. Yang lain-lain adalah turunan. Tercatat dalam boks ngerumpi di antara blogger-blogger buku, dia pernah memakai nama Kobo Ashanti, nama pinjaman dari Charlie Ashanti di buku Lion Boy-nya Zizou Corder. Dia juga memakai Kobo Eugenides, nama pinjaman dari Jeffrey Eugenides si pengarang Middlesex. Belum lama ini Amaranta Buendia sehabis dia membaca 100 Tahun Kesunyian si Gabriel Garcia Marquez. Pernah juga Caesar Kobous untuk ikut-ikutan Caesar Hadrianus dalam Memoir Hadrianus. Nama Princess Fiona pun digandengnya gara-gara habis nonton Shrek 3. Juga Helen of Sparta sehabis baca novel grafis Eric Shanower, Seribu Kapal.

Mungkin itu sekadar main-main. Tapi bisa jadi tokoh-tokoh itu adalah kawan bermainnya yang paling eksistensial dan ingin sekali diperkenalkannya kepada pembaca yang lain, seperti Jean Paul Sartre kecil kala tokoh-tokoh dalam buku mendorong-dorongnya di kamar lantai atas rumah kakeknya yang mencucuk awan.

Kegairahan itu sepadan dengan kesenangannya akan istilah-istilah dalam dunia buku dengan pengertian-pengertian yang baru dan gaul. Maka muncullah gagasan menyusun sebuah kamus yang kemudian dinamainya Kamus Gaul Kutu Buku dan disingkat KGKB (kok mirip singkatan organisasi intelijen Rusia).

Ide didapatkannya dari selentingan gosip-menggosip yang menurut saya sudah kian tak terkendali dari hari ke hari dan itu hanya berlangsung beberapa pribadi saja yang tinggal di lain-lain kota: Jakarta, Jogja, Bandung.

Untuk menangkap dan merekam istilah-istilah buku itu disediakannya dirinya menjadi editor di mana dia sendiri yang menjadi pelontar ide pertama kali dan digongkan oleh Om Tanzil dengan seabrek nama samaran. (CATATAN: Manusia satu ini harus berkali-kali saya sebutkan karena menggongkan sesuatu yang tak perlu menjadi perlu, membesarkan sesuatu yang sebetulnya kecil. Dan sialnya, yang digongkannya itu menjadi sesuatu yang penting bagi warga buku sebangsa dan setanah air).

Cara pengumpulan lema atau kata-kata itu juga dilakukan dengan sukarela. Saya menduga pola ini dipinjamnya dari pola penyusunan kamus Oxford yang dibacanya dari buku The Proffesor and The Madman karya Simon Winchester. Dia seperti bertindak sebagai James Murray yang tak lulus sekolah dasar tapi disandangi gelar profesor dan menjadi editor pelaksana kamus besar itu. Sementara yang lainnya relawan-relawan. Terus siapa yang jadi orang gila seperti Dr. William Minor di rumah sakit jiwa Broadmoor Criminal Lunatic Asylum, Inggris? Nah ini dia. Orang gilanya sudah bukan lagi tunggal, tapi sudah—dalam istilah bakhteri—memecah diri setelah masa inkubasi. Bakhteri-bekhteri gilanya itu sudah berjamaah: ya Tanzil, Antie, Endah, Jodie, dll.

Masing-masing orang menyumbang kata beserta artinya yang unik. Misalnya Jody dari Jogja menyebut kata BUKU KUBIK yang awalnya tidak disebutkannya artinya dan membuat saya terbengong-bengong. Beberapa hari kemudian baru arti “Buku Kubik” itu keluar: buku yang panjang-lebar alias tebal, isinya berat, dan kelas penulisnya tinggi alias berbobot dunia. Pengertian itu merupakan plesetan dari rumus untuk volume (kubik), yakni: panjang x lebar x tinggi.

Lalu tugas Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta yang menuliskannya di blog http://kobochan16.multiply.com/journal/item/46. Lemanya memang belum banyak. Paling tidak sudah ada beberapa lema yang menarik, seperti: Buku Mogok: buku yang nggak selesai dibaca karena sifatnya terlalu kubisme (rujuk ke Buku Kubik); Buku Harapan: buku yang menjadi ancang-ancang untuk dibaca; Penggoda Buku: orang-orang yang bikin orang lain jadi pengen beli buku; Maraton Buku: baca buku seperti lari maraton, sambung-menyambung selesai satu buku sambung lagi yang baru dan buku-buku itu dibaca sampai selesai (lawan kata Buku Mogok); Mata Buku-an: orang yang kalo lihat buku (di mana aja, di toko, di rumah orang, di perpustakaan, di jalan -- kalau ada --, di dunia maya) sulit menahan diri untuk tidak beli/pinjam walau di rumah masih menunggu daftar antri yang cukup panjang; dan masih ada beberapa lema yang menggelitik.

Ketahuan kemudian bahwa blog dan buku telah membawa terbang Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta. Dia bisa berpikir apa saja dan menyebutkan apa saja. Dia adalah pengagum buku dan sekaligus juru belanja yang royal.

Namun dia takut atau cemas dengan satu tempat belanja buku di kotanya: Titi Gantung.

Ya, Titi Gantung. Ini bukan berita tentang kisah mengerah ulu hati dari para TKI yang bekerja di negeri-negeri tetangga. Atau sepotong berita di halaman depan koran kuning Lampu Merah yang setiap hari nongol di Jakarta. Titi Gantung tak sama dengan Titi yang gantung diri. Dan tahukah kalian, bagaimana Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta selalu menggigil pucat jika bepergian sendirian ke tempat yang sangat tak mirip dengan Macondo yang dibayangkannya dalam 100 Tahun Kesunyian.

Tempat ini menyeramkan bukan juga soal karena tempat ini pernah dipakai si Titi mangkal bersama pacarnya lalu pilih mati gantung diri di sini juga karena cinta terkhianati. Ini adalah lokalisasi pedagang buku murah berkaki dua di Medan, serupa Senen di Jakarta, Palasari di Bandung, Taman Pintar di Jogjakarta (dulu: shoping).

Saya membayangkan bagaimana Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta menuju tempat itu dengan harapan dan rasa was-was membaur untuk bisa mengepit pulang satu dua buku pelajaran yang diingini. Dia menyeberangi lapangan Merdeka dan menuju pinggiran di mana keretapi biasa parkir dan bersuling pergi. Di situ, ia memasuki gua yang di dua sisinya berdiri kios-kios kecil semipermanen yang berderet-deret dan selalu membuka mulut agar orang sudi singgah walau sejenak.

Si Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta terpaksa ke sini karena memang di sinilah kawasan di mana buku-buku dasar pelajaran sekolah dijual yang berbaur dengan makalah-makalah kuliahan yang siap dicontek bagi kaum terpelajar yang malas berpikir dan menulis, majalah bekas, kamus, serta deretan buku-buku bajakan.

Di kawasan ini, hukum pasar yang keras memang berlaku. Buku-buku bersampul elite tahu diri untuk tak lenggang kangkung masuk di tempat beginian. Buku-buku fiksi atau babon bersampul mewah, licin, dan disampul plastik yang diproduksi Jakarta, Bandung, dan Jogja mencari tempat yang lebih “wajar dan berkelas”, dingin, dan rapi di tiga toko Gramedia, Pustaka Obor, dan Kharisma.

Karena hukum pasarnya keras dan persaingan ketat, maka watak para penjualnya juga keras. Suaranya keras karena harus bersaing dengan terompet kereta yang datang dan berangkat. Begitu merindingnya si Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta memasuki lorong panjang yang di sana berbaris serdadu-serdadu buku, yang menurut istilahnya, “orang-orang yang tak simpatik”. Dia memang bule alias batak tulen, tapi tetap saja gerih melihat tampang-tampang dan suara-suara keras serdadu buku Titi Gantung.

Saya menduga, si Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta berperasaan demikian karena memang ia adalah pembaca buku yang halus, peresap semangat bacaan hingga ke serat-seratnya, dan terbiasa membaca di ruang-ruang sunyi dan berpendingin. Dia adalah wajah lain manusia Medan.

Dia berharap, para penjual buku juga berlaku yang sama. Tapi ini, Titi Gantung, Nona! Suara para serdadu buku itu mesti memekak karena harus bersaing dengan suling keretapi yang datang dan pergi.

Titi Gantung juga bukan blog buku di mana Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta bisa bertemu orang-orang yang sepaham. Titi Gantung mirip pasarbuku yang salah satu moderatornya H tanzil. Tapi ini bukan maya dan orang hanya bisa mencaci maki tanpa mesti adu otot. Di Titi Gantung, semuanya diurus secara berhadap-hadapan: muka ketemu muka.

Namun kegarangan Titi Gantung tak membuat Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta undur diri dari buku. Bukan karena Titi Gantung pula yang membikin nyalinya gepeng untuk membaca buku sambil nyetir mobil dan berkali-kali mesti diterompet oleh pengendara lain.

Dan sebagai jamuan terakhir, terimalah lima buku yang menjadikan Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta seperti saat ini. Tapi jangan heran kalau buku anak-anak semua.

(1) My Family and Other Animals karya Gerald Durrel. Buku ini aku cari lagi. Berisi kisah hidup penulisnya waktu masih kecil di Pulau Corfu. Dia cerita tentang kecintaannya sama binatang. Lucu banget. Apalagi aku memang suka cerita binatang, makanya aku suka buku itu. Dulu di perpustakaan tempatku kursus ada dan aku pinjam berulang kali.

(2) Serial Mallory Towers-nya Enid Blyton. Membaca buku itu aku jadi kepingin sekolah berasrama kayak tokoh-tokohnya dan jadi ingin belajar bahasa Prancis juga gara-gara itu. Gara-gara buku itu juga aku membaca Shakespeare.

(3) Ronya Anak Penyamun karangan Astrid Lindgren. Ini buku yang paling aku suka dari semua bukunya Astrid Lindgren (walau semuanya sih suka, hehehehe). Aku jadi bisa menikmati tinggal di daerah-daerah terpencil gara-gara buku ini. Soalnya, tokohnya RO-nya itu, kan diceritakan tinggal di gua. Lalu jalan-jalan ke sungai di hutan. Gara-gara itu aku jadi bisa menikmati tempat-tempat dimana belum dijamah sama pembangunan yang bikin rusak lingkungan.

(4) Pasukan Mau Tahu karya Enid Blyton (lagi-lagi!). Aku jadi pengen jadi detektif, terus suka menyamar-menyamar, kayak pimpinan kelompok anak-anak itu, hehehehe, si gendut Fatty.

(5) Lupus karyanya Hilman. Terutama edisi jaman dulu. Abis ini cerita lucu banget. Terutama seri Topi-Topi Centil. Seri ini yang paling ingat, gak tahu kenapa deh, pokoknya nempel aja ampe sekarang. Cerita waktu Lulu adiknya Lupus naksir cowok yang suka pakai topi yang lucu-lucu, terus dia mau ulang tahun, Lulu beli topi yang imut, tapi aku lupa kenapa akhirnya gak jadi dikasi, dan malah akhirnya Lupus yang dapat topi itu, hahahahaha. Tapi kalau yang seri Lupus yang belakangan aku gak bisa aku nikmati lagi.

“Boleh nambah satu lagi nggak, Gus Muh?” pintanya.

Belum sempat saya menjawab dia langsung tancap gas dan inilah yang keenam.

(6) Sheila (One Child) karya Torey Hayden. Ini non fiksi, tapi cara penulisannya seperti novel. Bisa dibilang, ini yang paling mengubah aku, egoku turun drastis sejak baca bukunya sekira 4 tahun yang lalu. Kesabaran Torey di buku itu yang bikin aku seperti shock, karena dulunya aku orang yang sangat tidak sabaran dan menuntut terlalu banyak, terutama sama staf-stafku dulu di kantor yang lama. Belakangan, teman-temanku baru berani ngomong ama aku, mereka bilang, kalau dulu itu, mereka sering kasihan banget sama staf-staf yang ikut aku, karena rasanya sulit banget kalau harus mengikuti standar yang aku harapkan dari mereka.

Rupanya bukulah yang membuat Dumaria Pohon alias Kobo alias Kobo Eugenides alias Amaranta Buendia alias Caesar Kobous alias Princess Fiona alias Helen of Sparta menjadi lembut, perasa, dan tak lagi galak. Kalau begini ceritanya, ayolah hai para pemuda-pemuda buku sebangsa dan setanah air mendekatlah kepadanya. Mumpung dia masih sendiri kok alias belum berkeluarga sampai tulisan ini dibuat dan saat ini hanya ditemani oleh tokoh-tokoh fiksi dari bacaannya. Mumpung dia sudah jinak alias tak galak. Hehehehe!

Horas!

Tidak ada komentar: