Minggu, 12 Agustus 2007

Endah Sulwesi: Perkenalkan, Saya Endah Sulwesi!

Oleh Muhidin M Dahlan

Bukan karena di ujung namanya terpacak kata “Sulwesi” saya menulis tentang dia. “Sulwesi” dengan pakai “u” adalah kepulauan yang membesarkan raga awal saya. Dia bukan dari “Sulwesi” dengan pakai “u” atau dari “Solo”. Dia sudah 39 tahun menarik napas di Jakarta yang sudah jadi kampung besar tak senonoh dan kian urakan ini. Tapi saya tak tahu dia di Jakarta mana pastinya. Sebab saya tak bertanya tentang alamat. Dan memang apa gunanya saya bertanya tentang alamat rumah, jika dia lebih senang dikunjungi di alamatnya yang lebih anggun sekaligus semarak.



Dia berumah di blog. Di rumah itu dia bercerita tentang banyak hal, bertanya tentang banyak soal, mengeluh dengan kegilaan kota, dan mengabarkan apa yang baru saja dibacanya, serta menyapa siapa pun yang singgah. Rumah itu dinamainya Perca (www.perca.blogdrive.com).

Perca berarti kain sisa. Perca berarti kain sisa guntingan yang itu adalah ampas. Dan dia mencoba bertindak sebagai pengumpul sebagai pengais kain yang tercecer itu, kain ampas itu. Ah, saya jadi ingat pakaian compang-camping bertambal kain aneka warna kelompok Dewa Pengemis bertongkat dengan nekara yang selalu di telapak dalam film-fim Cina.

“Perca” bisa juga adalah kerendahatian. Dia selalu mengaca diri bahwa dia tak bisa menulis seumpama kemampuan mereka yang menulis di koran dan majalah-majalah yang lincah-lincah, yang prigel-prigel, yang cergas-cergas, yang gurih-gurih, dan yang sangat serius dengan intonasi bahasa yang sangat teratur dan pencecapan tinggi seperti ingin memberitahu para pujangga agung sebelumnya agar segera turun panggung karena para pengganti sudah siap memacak diri dan menepuk dada.

Pada banyak waktu, dia selalu mengibakan untuk belajar menulis kepada siapa saja yang dia temui. Juga kepada saya. Saya mengelak, tapi dia merajuk. Seperti “Perca”, dia memang selalu mengambil posisi berada di pinggir kain yang pasti dilewati lidah gunting. Dia tak ingin menjadi pusat yang “menerangkan” (me-kan). Biarlah dia menjadi yang “diterangkan” (di-kan).

Namun justru di sana, rumahnya menjadi pertemuan paling ramai para penggosip buku. Saya tahu cuma segelintir orang yang bersenda-senda dan bergurau-gurau di berandanya. Tapi intens dan tak bosan-bosannya. Mereka saling memamerkan buku-buku bacaannya, mengganti nama sekena-kenanya, dan membikin teka-teki. Pernah sepekan saya mengintip dalam diam prilaku-prilaku orang-orang yang nyaris kesurupan di beranda rumahnya.

Intensitas gosip itu didapatinya bukan secara instan. Beranda rumahnya menjadi sangat terbuka dan bersahabat, bukan terjadi hanya dalam waktu sekejap waktu sesore tadi. Ia mempersiapkan rumah itu sebagaimana ia mempersiapkan diri yang terus dirajami rasa sendiri; ke mana ia akan bercerita dan membagi kisah yang ia resapi dari buku-buku. Alasannya sangat sederhana, tapi di sana pula inti seorang pembaca yang terus berani bertahan dalam kutukan kesepian.

Dan dalam sepi yang mencucuk-cucuk itu pula, pada seputaran hari di tahun 2004, ia mengapling tanah, menanam struktur pondasi, dan mendirikan rumah. Tanahnya bernama blogdrive. Pondasinya bernama kecintaan pada buku dan keinginan kuat membagi kesukaan. Sementara rumahnya bernama buku.

Mula-mula, ia mengisi apa saja di blog ini. Apa saja furniture bahkan barang rongsokan yang dikirimi teman-temannya ditampungnya di rumah sederhananya itu. Ia memanggil-manggil kiriman. Dan kiriman-kiriman berdatangan. Tapi itu tak lama. Para pengirim barang mulai mengambil langkah mundur yang menandai bahwa pesta selamatan rumah barunya berakhir. Dan tertinggallah ia sendiri dengan sebuah kunci. Ia manggut-manggut. Tinggallah ia menjadi penulis tunggal di rumahnya. Jadilah ia ratu tanpa mahkota dan majikan tanpa pembantu di rumahnya.

Semuanya dikerjakannya sendiri. Mendaftar catatan belanja rutin dan berbelanja ke toko-toko buku. “Saya keluarkan setiap bulan dikisaran 100-200 ribu, Gus,” katanya kepada saya. Buku-buku itulah yang selalu menemaninya di tengah penat bus yang terseok di garis macet jika berangkat “merumput” di kebun teh. Maklum saja ia adalah karyawan kebun teh di bidang wisata agro.

Saya pernah membayangkan bahwa dia juga mau meresensi buku-buku tentang teh. Ah, gus jejen (www.pejalanjauh.blogspot.com) sudah dengan gagah ngomongin kopi di blognya, Dewi Lestari sudah dengan intens merasuki diri ke dalam genangan limbah kopi yang jelaga itu dalam sekuplet ceritanya. Tapi, Endah, kenapa tak kamu persembahkan juga kepada kami para pembenci kopi ini suguhan aroma teh. Teh apa sajalah. Bukankah tradisi minum teh sudah menjadi tradisi tua dalam sigi peradaban manusia.

Tapi saya menduga dia bukan penyuka buku-buku terbitan Trubus, sebab yang selalu mengiriminya buku-buku gratis memang bukan dari Trubus, tapi dari penerbit seperti Bentang Pustaka, Serambi, GPU, Qanita, dan Hikmah yang menerbitkan sastra. Rumahnya memang seperti rumah fiksi, sementara Trubus adalah memproduksi buku-buku yang membawa kita bergelut dengan lumpur dan berpeluh dengan butir keringat asin di bawah panggangan matahari.

Dia memang berhak mendapatkan kiriman buku gratis dari penerbit karena kerja diam-diamnya mendiskusikan buku-buku penerbit itu dalam rumah blog yang dipeliharanya dengan tekun. Dia terus menanam kecintaan setiap pekan di sana. “Dulu kadang dua kali seminggu saya ngaplud. Tapi sekarang setiap pekan saja,” katanya sambil ia malu-malu ketika saya tanyakan ke mana lagi dia menanam selain di rumahnya sendiri.

“Sudah berapa puluh kali kamu dimuat di koran?” tanya saya.

“Astaga!” dia melonjak seakan tak percaya. Saya juga kaget kenapa dia kaget.

Lalu dia berkisah bahwa dia rendah diri untuk menulis di koran. Menurutnya resensinya di rumah blognya itu hanya coretan-coretan ringan. Tercatat hanya tiga koran yang memuat tulisannya di usinya yang sudah 39 tahun ini: Riau Pos, Banjarmasin Pos, dan Koran Tempo. Dua koran pertama mengambil tulisannya di rumahnya (blog), sementara di Koran Tempo dia dihubungi Mas Dian Basuki untuk memuat resensinya.

“Kompas?” tanya saya. Lagi-lagi dia terbelalak. Dia seakan tak membayangkan resensinya yang dianggapnya cuma seperti kain perca itu melenggang maju ke ruang resensi Kompas yang djaga para cendekia berkain sutra itu.

Mungkin dia tak tahu atau memang diam saja bahwa dia dilirik banyak orang justru ketekunannya merawat rumahnya. Blog bisa juga dibilang seperti toko kelontong. Toko bisa memiliki pengunjung yang tiada henti jika terus dijaga, buka tutup tepat waktu, barang yang tak ada diadakan, dan kreatif serta terus-menerus melakukan apa yang disebut oleh master marketer Pak Hermawan Kertajaya dengan diferensiasi.

Ini buktinya: profilnya diliput oleh Koran Tempo edisi Desember 2005, Femina edisi 2006, dan Matabaca bulan April 2007. Dan keberadaan rumahnya menginspirasi seorang pendekar dan pelahap sekaligus pedagang pasar buku bernama H Tanzil membuat rumah serupa untuk menampung segumpal kegilaan atas buku. Dan beberapa orang lagi yang membuat hal yang sama di mana dulunya tak pernah terbayangkan olehnya sekira 3 tahun silam.

Dia memang nyonya rumah yang baik dan rajin. Dan yang tak lekang dari dirinya adalah dia tetap mencintai buku. Sudah 150 lebih buku yang diresensinya di rumah blognya dan masih banyak lagi buku yang menunggu dalam daftar belanja dengan macam-macam kategori: “Buku Harapan”, “Buku Mogok”, dan “Buku Tunggu”.

Tentu yang tak pernah bisa dia lupakan bahwa dia sadar bukulah yang mengubah hidupnya. Paling tidak ketika saya menanyai lima buku yang mempengaruhi hidupnya, dia dengan tangkas merinci.

(1) Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Di buku ini tak terlupa olehnya dengan sosok Minke dan keperkasaan Ontosoroh. Kalimat berat Ontosoroh ini salah satu yang dilafadzkannya kepada saya: “Minke, Nyo, ingatlah... lelaki yg menikahi perempuan hanya karena kecantikan dan hartanya, itu kriminal namanya. Dan perempuan yang menikahi lelaki krn ketampanan dan kekayaannya, itu pelacur namanya.
(2) Burung-burung Rantau karya YB Manunwijaya. Di buku ini ia lupa adegan apa yang paling menyentuh pedalamannya. “Apa ya? Pdhl aku membacanya dua kali tuh. O, yg aku ingat selama membaca buku itu aku mengidentifikasi diriku pd tokoh cewe tomboy di situ (siapa ya namanya) dan jatuh cinta pada Chandra, kakak lelaki di cewe ini.”
(3) Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Di buku ini dia terpikat oleh gaya bercerita Tohari yang sederhana, membumi, dan pencatatan suasana alam desa yang detail. Kita seperti ikut mendengar desir angin atau gemericik air. Dan inilah adegan yang paling mengesaninya: bukak klambu.
(4) The Kite Runner karya Khaled Hosseini. Novel ini yang membikin matanya sembab di angkot membayangkan tentang persahabatan yang begitu rapat, bersetia, dan menyentuh.
(5) To Kill A Mockingbird karya Harper Lee. Novel klasik berkisah tentang seorang pengacara kulit putih yg membela negro. “Aku sangat terkesan dengan tokoh Atticus Finch.

Dia telah membuka diri buku apa yang telah dibacanya pas setelah satu kaki saya berayun di luar pertanda saya pamit pulang malam itu. Hari sudah sangat malam. Endah, salam selalu. Kamu adalah nyonya rumah yang baik. Kamu adalah Ontosoroh yang kamu kagumi; bertahan dalam waktu yang panjang dan melelahkan agar orang-orang mau mendirikan rumah-rumah blog buku.

“Ke mana kamu setelah ini, Gus?” tanyamu.

“Ke Medan. Ada seorang akuntan yang juga selalu bertapa dengan buku yang di kiri kanannya kantong-kantong belanja selalu terbuka satu kali duapuluh empat jam,” jawab saya. Saya pergi. Dia tetap berdiri di sana. Dan enggan menutup pintu bagi angin-angin yang mengantarnya keesokan hari berangkat ke kebun teh bersama satu-dua biji buku peneman dalam goyangan buskota yang membosankan.

Tidak ada komentar: