Oleh Edna C Pattisina
Suatu siang di kantornya di Graha Ristra, Retno Iswari Tranggono sibuk membongkar koleksi buku. "Saya tadi dengar kabar ada kandungan formalin di salah satu produk. Itu aneh sekali. Makanya saya cari referensi. Semoga bisa jadi masukan buat Badan Pengawas Obat dan Makanan," katanya.
Di tengah-tengah obrolan tentang buku biografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, Retno Tranggono yang diluncurkan Senin (3/9), Retno Tranggono (68) bercerita bahwa hal-hal yang membahayakan konsumen seperti itu sering terjadi sejak masa awal dia berpraktik sebagai dokter kulit. "Makanya, konsumen sebaiknya sadar, selalu berhati-hati," katanya.
Bagi Retno, misi hidupnya adalah mengedukasi masyarakat. Sekitar tahun 1960-an ia berusaha meyakinkan orang untuk mencuci muka dengan sabun. "Waktu itu, kalau kulit jerawatan, malah ditutupin bedak. Ini menurut ilmu turunan dari Belanda, muka itu enggak boleh disabunin," ungkapnya.
Awal tahun 1970-an banyak produk kosmetik dari China, Taiwan, dan Thailand membanjiri Indonesia. Sebagai dokter, ia melihat banyak produk kosmetik yang bisa meracuni orang. Retno lalu melapor kepada Departemen Kesehatan. Ia mengkritik, kenapa komposisi produk tak ditulis pada kemasan? Setahun kemudian terbukti produk-produk itu mengandung merkuri yang berbahaya untuk otak, ginjal, dan lever.
Kini ia menggarisbawahi, berbagai produk dan perawatan kecantikan yang ditawarkan teknologi modern sering salah dimengerti. Ia mencontohkan, chemical peeling yang dalam prosesnya mengelupasi kulit. Akibatnya, lapisan dalam kulit jadi menipis. Proses yang diadopsi dari negara-negara subtropik ini memiliki efek yang berbeda jika diterapkan di Indonesia.
"Pertama, intensitas cahaya matahari berbeda. Kedua, pigmen melanin kita lebih besar dan banyak dibandingkan orang bule. Ini membuat penyerapan sinar matahari lebih banyak dan kulit kita bisa bertambah hitam, atau merah kayak udang rebus sebab ada masalah dengan pembuluh darah," paparnya.
Ada lagi salah kaprah tentang sun protecting factor (SPF) pada tabir surya. Tingginya angka SPF, walau memberi perlindungan terhadap ultraviolet B, akan membuat pembentukan pigmen kita lebih cepat.
Sementara buat orang bule, mereka memang ingin kulitnya menjadi coklat. "Kalau buat kita, kulit malah jadi tambah hitam. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, dibutuhkan SPF yang terintegrasi. Prinsipnya, kita enggak bisa langsung pakai kosmetik asal negara-negara subtropik."
Bukan sekali saja perempuan yang menyebut dirinya "gasing"—gara-gara ia merasa tak bisa diam—merasa harus tetap mengambil sikap di tengah arus yang berbeda. "Saya percaya, Tuhan punya rencana untuk hidup. Jadi, setiap kali saya merasa ’ada sesuatu’, ya saya kemukakan, saya jalan terus," kata nenek dari enam cucu ini.
Penyakit kotor
Kiprah Retno di bidang pendidikan ditandai dengan tantangan Kepala Bagian Kulit dan Kelamin Prof Dr M Djoewari saat ia lulus program spesialisasi pada 1968. Saat itu spesialisasi kulit dan kelamin dipandang sebagai bagian yang mengurusi penyakit kotor pada pelaut.
Dari pengalaman dia dengan berbagai pasien, Retno melihat masalah kosmetik untuk kecantikan dan kesehatan tak bisa dipisahkan. Ia lalu berjuang untuk mendirikan Subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit. "Kalau kamu yakin ilmu itu diminati oleh para dokter dan masyarakat membutuhkan, dirikan dan kembangkan!" kata Retno mengutip perkataan Djoewari.
Perjalanannya mewujudkan apa yang disebut sebagai The Science of Beauty tak mulus. Pada langkah pertama memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mental Retno sudah teruji saat ia dijuluki "janda bopeng" dalam masa plonco.
"Itu saking banyaknya saya punya jerawat. Memang mereka pada jahat ya ngasih julukan seperti itu. Tetapi, buat saya sendiri, kalau istilah sekarang, ya cuek saja," kenangnya.
Pengalaman pribadi tersebut menjadi salah satu pendorong pilihan hidupnya untuk menjadi "dokter jerawat". Meski persentuhan Retno dengan dunia kosmetik diawali dengan sebuah "kebetulan". Suatu hari ia menyerempet pohon bugenvil milik Bo Tan Tjoa. Perkenalan yang kebetulan itu membuat Bo Tan Tjoa, yang merupakan pendiri Viva Cosmetic, mengundang Retno untuk menjadi guru di Viva Health and Beauty Institute. Ini terjadi pada tahun 1963.
"Waktu saya mendirikan Subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit, ada empat suster dari FKUI yang saya ’sekolahkan’ ke salon. Kalau sebelumnya saya memasukkan unsur medis ke salon, sekarang pengalaman praktis di salon masuk dunia medis," katanya.
Belajar sendiri
Hasratnya menggabungkan ilmu medis dan perawatan kecantikan banyak berkembang lewat proses belajar sendiri. Ia memasuki cabang ilmu yang ketika itu belum berkembang. Sudah tentu buku yang tersedia pun amat terbatas. Buku pegangan pertamanya tentang kecantikan dibawakan sang suami, Tranggono, sepulang melawat ke Eropa untuk tugas belajar sebagai dokter AURI sekitar 1965.
"Sampai sekarang buku itu, The Structure and Function of The Skin, masih saya simpan karena menjadi inspirasi bagi saya," tuturnya.
Retno mengakui, dukungan keluarga dan suami adalah hal penting dalam hidupnya. Berkali-kali ia menceritakan, dukungan suaminya saat mereka memutuskan mendirikan usaha kosmetik Ristra. "Bapak mengajukan pensiun dini tahun 1983 dan kami mendirikan Ristra tahun itu juga," cerita Retno tentang usaha yang namanya merupakan akronim dari Retno Iswari dan Suharto Tranggono itu.
Sebagai dokter, ia mengaku gamang ketika mulai menjadi pebisnis. Namun, keinginan dia menjadikan Ristra sebagai kosmetik bagi orang Indonesia, membuat semangat Retno melambung. "Bapak (Tranggono) bekerja di bagian manajemen dan saya berkutat di research and development-nya."
Formulasi asli yang diramu Retno adalah hasil dari pengalaman bertahun-tahun menangani berbagai masalah pasien. Julukannya sebagai "dokter jerawat" menjadi modal awal, selain modal dana. Sejak awal ia bertujuan mengusung merek yang menggabungkan antara kosmetik dan medis. Oleh karena itu, kata dia, Ristra mengambil posisi bisnis berbeda dengan produk-produk tradisional yang sudah berakar lama. Dalam buku biografinya, Retno menyinggung hal ini.
Ristra memang berhasil bertahan selama 24 tahun. Namun, pencapaian ini tak berarti perjalanan usaha Retno selalu mulus. Tiga tahun pertama merek Ristra langsung melonjak. Beberapa perusahaan internasional, seperti Sara Lee dan British Petroleum, sampai menawar untuk membeli perusahaan itu. Tawaran itu ditolaknya.
Tahun 1987 Retno menghadapi masalah. Walaupun barangnya laku di pasaran, uangnya tidak masuk perusahaan. "Kami ditipu orang. Ketika itu kami rugi sampai sekitar setengah miliar rupiah. Modal kami tinggal sepuluh juta, jadi ya harus pinjam kepada bank," ungkapnya.
Ibarat gasing yang terus berputar, meski merugi, Ristra tak jatuh dan tamat. Dia berhasil bangkit. Bagi Retno, turun-naik sebuah usaha itu adalah hal yang lumrah, seperti roda kehidupan.
Kini Retno berencana menyerahkan "estafet" usahanya kepada pebisnis profesional yang diharapkan lebih piawai. Dia akan tetap mendukung di belakang layar. "Saya mau kuliah filsafat," kata perempuan energik ini menyebutkan alasannya.
*Digunting dari Harian Kompas edisi 4 September 2007
Senin, 03 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar