Jumat, 29 Februari 2008

Antonia Johanna Dragt: Terinspirasi Masa Kecil di Indonesia

Kendati hanya numpang lahir dan menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remaja di Indonesia, khususnya di Batavia (Jakarta), sebelum akhirnya kembali ke negeri Belanda tanah air orangtuanya, hal itu ternyata memberi kenangan masa remaja yang indah bagi Tonke Dragt.

Penulis buku cerita anak terkenal dari negeri Belanda, pengarang buku Surat untuk Raja atau judul aslinya dalam bahasa Belanda, De brief voor de koning, yang bernama asli Antonia Johanna Dragt ini bahkan di usianya yang ke-13 tahun pernah mengalami masa buruk. Di usianya itu, ia hidup di kamp pengasingan Jepang di daerah Cideng, Jakarta, bersama ibu dan kedua saudara perempuannya. Namun, hal tersebut tidak menodai kenangan indah masa remajanya di Indonesia. Bahkan, yang terjadi adalah di kamp inilah Tonke Dragt untuk pertama kalinya menulis sebuah buku cerita.

”Bersama-sama dengan teman sepantaran. Kami berdua. Dan saya yang menggambar ilustrasinya. Kami berdua doyan sekali membaca, tetapi karena di kamp bukunya sedikit sekali, kami memutuskan untuk membuat saja buku sendiri,” kata Tonke dalam surat pribadi yang dibuatnya menyambut peluncuran buku Surat untuk Raja versi terjemahan Indonesia di Kedutaan Besar Belanda, 1 Desember 2007.

Jadi, di Kamp Cideng inilah awal karier kepenulisan Dragt dimulai. ”Walaupun pada saat itu saya belum tahu bahwa itu akan menjadi profesi saya. Namun, saya menyadari betapa asyiknya mengisahkan cerita, secara lisan maupun tulisan, dan dengan cara itu memikat perhatian orang,” jelas Dragt.

Berbekal kertas seadanya, bahkan dengan menggunakan buku tulis sekolah bekas yang sudah ditulisi yang kemudian dihapus hingga bersih, buku pertama Dragt yang ia tulis bersama temannya tersebut benar- benar rampung. Menurut Dragt, isi ceritanya sendiri sebenarnya biasa-biasa saja alias tidak orisinal. Namun, sarat petualangan dan jauh di kemudian hari ia menyadari bahwa jika para jagoannya (si tokoh cerita) tertangkap, mereka selalu bisa lolos.

Tonke Dragt lahir di Jakarta pada 12 November 1930. Ia menjalani masa remaja di Indonesia bersama dengan keluarganya karena ayahnya warga Belanda yang bertugas di Indonesia atau Hindia Belanda. Seusai Perang Dunia II tahun 1945, Tonke bersama ibu dan saudari-saudarinya pindah ke Belanda, sementara ayahnya masih tinggal di Indonesia. Sempat kembali sebentar ke Jakarta sebelum akhirnya tahun 1950 menetap di Belanda.

Sebagaimana keluarga Hindia Belanda lainnya, keluarga Tonke mendapat sambutan dingin dari masyarakat di negeri Belanda. Di sana Tonke menyelesaikan sekolah menengah (HBS) dan menyelesaikan studi di Academie voor de Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di kota Den Haag. Setelah lulus sempat menjadi guru menggambar di sebuah sekolah menengah di kota Rijswijk, tidak jauh dari Den Haag.

Awalnya, cerita-ceritanya diterbitkan dalam majalah anak- anak Kris Kras, baru pada tahun 1961 buku pertamanya berjudul Verhalen van de tweelingboers (Hilayat Si Kembar) terbit. Tahun berikutnya, yakni 1962, terbit buku De brief voor de koning (Surat untuk Raja). Buku ini pada tahun 1963 di Belanda dinobatkan menjadi buku anak-anak terbaik tahun 1962. Setelah 40 tahun, buku ini dan lanjutannya yang berjudul Geheimen van het wilde woud (Rahasia Hutan Anggara) hingga kini masih menjadi bukunya yang paling laris di pasar.

Pada tahun 1976 Tonke mendapat anugerah Staatsprijs voor kinder-en jeugdliteratuur (Hadiah Negara untuk Literatur Anak dan Remaja) dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas karya-karyanya. Puncaknya, pada 5 Oktober 2004 buku De brief voor de koning ditetapkan sebagai buku anak-anak terbaik Belanda sepanjang 50 tahun terakhir (1955-2004).

De brief voor de koning sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, yakni Jerman, Dansk (Denmark), Esti (Yunani), Cek (Ceko), Spanyol, Perancis, Italia, dan terakhir ke dalam bahasa Indonesia (Surat untuk Raja). Saat ini De brief voor de koning sedang diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar yang diperkirakan akan selesai pada pertengahan tahun ini.(Anung Wendyartaka/ Litbang Kompas)


Mengidolakan JRR Tolkien


Berkaitan peluncuran buku De brief voor de koning terjemahan bahasa Indonesia, Pustakaloka Kompas berkesempatan melakukan wawancara dengan penulisnya, Tonke Dragt. Wawancara jarak jauh ini difasilitasi Liesbeth ten Houten dari penerbit Leopold Belanda.

Berikut petikan wawancara tersebut:

Apa yang mendorong Bu Tonke untuk menulis buku cerita anak-anak, bukan buku cerita untuk dewasa atau yang lain?

Tonke tidak melakukan pembedaan antara pembaca dewasa dan anak-anak. Ia sering memulai dengan suatu citra, dan suatu ilustrasi. Kebetulan tidak seperti buku orang dewasa, tetapi lebih seperti buku anak-anak berilustrasi. Tonke pernah berprofesi sebagai guru menggambar. Sebagian besar bukunya adalah untuk semua umur.

Apa yang menarik dari dunia anak-anak atau remaja menurut Bu Tonke sehingga banyak menulis buku cerita untuk kalangan anak-anak dan remaja ini? Apakah terkait dengan pengalaman masa lalu atau sebab yang lain?

Tonke menulis buku tentang membuat pilihan, dan kemudian tokoh utamanya menjadi terlibat dalam petualangan. Yang ia tanyakan adalah ”what happens if...”. Dan petualangan pun terjadi.

Apakah dorongan menulis buku cerita anak juga didorong oleh situasi eksternal atau kondisi buku cerita anak yang ada waktu itu di Belanda? Misalnya ingin memberi warna lain terhadap buku-buku cerita anak yang sudah ada waktu itu?

Tidak, ia tidak berpikir ke arah sana. Ia menyukai cerita yang mengambil tempat di abad pertengahan, tetapi menulis buku tentang membuat pilihan dan akibat-akibat dari pilihan itu juga bisa menjadi buku fiksi ilmiah.

Apakah pengalaman masa kecil di Jakarta berpengaruh terhadap tulisan atau cerita-cerita yang dibuat Bu Tonke? Apakah ada buku yang ber-setting Jakarta atau Indonesia?

Iya, masa remajanya di Indonesia amat sangat penting. Lingkungan tropis sering kali menjadi latar belakang, dan Tonke mulai bercerita dan membuat buku (bersama seorang teman) pada masa perang di kamp pengungsi di Indonesia. Di tempat pengungsian itu ia menjadi tahu bahwa ia pandai membuat cerita; di sana ia mulai menggunakan daya imajinasi. Di sana ia ternyata bisa membuat orang-orang lain melupakan keadaan susah yang dihadapi, rasa lapar mereka: semua cerita memiliki happy ending, penuh acara makan-makan besar, dan tokoh-tokohnya selalu bisa kabur melarikan diri.

Bagaimana pendapat Bu Tonke terhadap perkembangan buku cerita anak masa kini di Belanda?

Bagus! Dan sungguh luar biasa bahwa efek Harry Potter menjadikan buku-buku tebal digandrungi!

Siapa pengarang buku idola dan paling dikagumi Bu Tonke?

Banyak sekali, salah satunya JRR Tolkien, pengarang The Lord of the Rings.

Apa buku cerita anak paling disukai, paling hebat, menurut Bu Tonke?

Sulit untuk mengatakannya. Tonke menyukai banyak sekali buku.

Hingga saat ini Surat untuk Raja sudah dicetak hingga berapa eksemplar?

Di Belanda, sekitar 400.000 eksemplar.

Yang terakhir, obsesi yang belum terlaksana saat ini terutama berkaitan dengan buku yang ingin ditulis?

Tonke ingin menulis dan menyelesaikan sekuel buku Aan de andere kant van de deur (The other side of the door). Saat ini 75 persen telah rampung dan semua ilustrasi telah siap.(WEN/Litbang Kompas)



Nilai Janji yang Terucap

Sebagai penggambar dan penulis, saya gemar membuat peta dan tulisan mengenai negeri-negeri yang saya karang atau, tepatnya, saya temukan. Barangkali karena saya menjadi bagian dari dua negara yang berbeda, yang dua-duanya saya cintai, namun yang di satu pun saya tidak pernah benar-benar merasa betah….

Demikian bunyi penggalan surat yang dikirimkan Tonke Dragt kepada pembaca di Indonesia terkait dengan peluncuran salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. De brief voor de koning, karya Tonke Dragt, yang terbit tahun 1962 akhirnya dapat dinikmati publik Indonesia. Penerbit Pena Wormer, yang mengkhususkan diri pada karya penulis Belanda, meluncurkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Surat untuk Raja, awal Desember 2007.

Pada tahun 1963—setahun setelah penerbitannya—anugerah buku anak terbaik disabet Surat untuk Raja. Empat puluh tahun kemudian karya itu belum kehilangan geregetnya. Cetakan ke-19 terbit pada tahun 2002. Capaian tertinggi diraih dua tahun kemudian saat buku anak itu dinobatkan sebagai Buku Anak Terbaik di Belanda sepanjang lima puluh tahun terakhir (1955-2004). Suatu pencapaian yang luar biasa dari sebuah karya yang seolah tak lekang dimakan usia. Oplahnya tidak boleh dipandang sebelah mata: sejak 1962, jutaan eksemplar telah terjual dan berbagai toko buku di Belanda setiap tahun menjual lebih dari 15.000 buku.

Cerita dalam Surat untuk Raja berlatar waktu saat para ksatria masih berjaya. Tokoh utamanya adalah seorang pemuda berusia enam belas tahun bernama Tiuri, seorang calon ksatria yang harus menempuh ujian terakhir sebelum diangkat menjadi ksatria. Pada malam menjelang pengangkatan, bersama empat calon ksatria lainnya, Tiuri bertirakat dan menyepi di sebuah kapel di wilayah kerajaan Baginda Dagonaut. Dua puluh empat jam lamanya dia harus menahan kantuk, lapar, dan keinginan berinteraksi dengan orang lain.

Pada malam yang menentukan itu, dia mendengar ketukan di pintu kapel. Seorang lelaki tua misterius meminta pertolongannya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Ksatria Hitam Laskar Perisai Putih. Si lelaki tua menyerahkan surat dan mengatakan bahwa seekor kuda hitam akan membawa Tiuri menemui ksatria yang dimaksudkan. Mengikuti kata hatinya, Tiuri menafikan semua larangan dan mempertaruhkan nasibnya. Menembus gelapnya malam, calon ksatria itu berkuda mengantarkan surat.

Suatu tugas yang teramat berat dan penuh bahaya untuk dilaksanakan. Dalam sekejap dia menjadi barid, seorang pengantar surat. Jalan panjang ditempuh menuju Kerajaan Unawen. Dalam perjalanan Tiuri harus menghadapi Laskar Pusu Pengendara Merah dari negeri Eviellan yang sedang berperang dengan Kerajaan Unawen. Laskar itu berkepentingan mencegah surat itu sampai di tangan Raja Unawen. Tiuri juga harus berhadapan dengan ksatria yang tergabung dalam Pusu Ksatria Kelabu, yang menuntut balas kematian Ksatria Hitam laskar Perisai Putih. Nantinya terbukti bahwa Ksatria Kelabu berada di pihak yang sama seperti Tiuri, mereka membela kepentingan Raja Unawen. Para Ksatria Kelabu menuturkan bahwa Ksatria Hitam Perisai Putih yang terbunuh adalah Edwinem dari Forestera, ksatria Raja Unawen yang paling setia dan digdaya, yang gugur karena dijebak Laskar Pusu Pengendara Merah.

Di pertapaan Menaures, sang petapa memperkenalkannya pada Piak, penunjuk jalan di pegunungan. Pada Piak, Tiuri menemukan sosok seorang sahabat. Rintangan demi rintangan dilalui kedua pemuda dalam melaksanakan tugas mengantar surat rahasia itu.

Nilai kebajikan dalam kemasan sederhana

Kisah Tiuri yang berlatar negeri antah berantah dan bermain di masa yang mengingatkan orang pada Abad Pertengahan patut mendapat acungan jempol. Pendapat pemerhati buku anak di Belanda—yang menilai buku ini sebagai karya abadi yang memiliki semua hal yang semestinya dipenuhi sebuah buku anak yang baik—dapat dibenarkan. Setelah lebih dari dua puluh enam tahun, tidak ada satu nilai kebajikan yang diusung dalam cerita ini ketinggalan zaman.

Unsur fiksi yang dihadirkan menjadikan kejadian dalam cerita tetap terterima sampai saat ini. Dragt berhasil menggabungkan fantasi dan kenyataan, dunia yang diciptakannya terasa begitu nyata. Penggambaran latar tempatnya membuat pembacanya terseret dan mulai membayangkan keindahan hutan dan bengawan, pekatnya malam di hutan atau sulitnya perjalanan melalui pegunungan. Kepiawaiannya menggambar—dia membuat sendiri ilustrasi buku-bukunya—barangkali berperan dalam pembentukan gambaran latar yang memikat. Penggambaran latar bersifat universal sehingga memudahkan pembaca menghayatinya. Struktur cerita yang jelas dengan alur maju pastinya tidak akan menyulitkan pembaca muda menangkap benang merah kisah petualangan ini.

Buku ini mengusung nilai-nilai kebajikan dalam kemasan sederhana. Terkadang pesan yang penuh perenungan diungkap, bukan lewat tindakan heroik para ksatria, tetapi misalnya ujaran tokoh sampiran. Tokoh Tirillo, pelawak penghibur di Negeri Unawen, berulang kali mengemban tugas menyampaikan perenungan itu. ”Seseorang tidak perlu mengusung pedang dan perisai untuk menjadi ksatria” (hal 459). Makna yang terkandung dalam pendapat si badut itu teramat dalam. Atau barangkali yang lebih menarik. Bagian berikut ini tak kalah memikat, saat si pelawak diminta menyanyi untuk menghibur hati, Trililo menolak dan justru mengatakan, ”Aku tidak bisa menghilangkan kesedihan hati kalian. Sekali-kali kau harus merasakan kesedihan agar bisa lebih menghargai kegembiraan. Sama seperti hujan yang mesti turun di antara sinar matahari” (hal 449).

Pemenuhan janji yang telah terucap, kentara ditekankan dalam Surat untuk Raja. Berkali-kali dalam cerita disuguhkan bagaimana tokoh utama dan beberapa tokoh lain jungkir balik berupaya memenuhi janji. Bahwa mereka harus mengalahkan rintangan dan berbagi beban dalam menghadapi berbagai kendala yang menghadang, memperkuat pesan yang hendak disampaikan. Dan bila semua rintangan dan kendala terlewati, tugas dan janji terpenuhi, imbalan yang layak menanti. Dus bukanlah lidah tak bertulang, lain di bibir lain di hati.

Makna persahabatan dijunjung tinggi, bersama teman kesulitan lebih mudah dihadapi, kebahagiaan dan kemenangan menjadi jauh lebih bermakna. Nilai seorang teman sejati diungkap dalam kisah ini, berkorban, menimbang rasa, besar artinya dalam sebuah relasi.

Perjalanan yang dilakukan Tiuri sejalan dengan tema yang sering diangkat Dragt. Untuk menyampaikan surat penting, Tiuri menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Di akhir perjalanan Tiuri becermin dan melihat sebuah sosok baru: seorang calon ksatria telah menjadi ”ksatria” sesungguhnya, seorang pemuda menjadi lelaki dewasa.

Dua ragam dalam satu kemasan

Sungguh bukan pekerjaan mudah untuk menuturkan kembali kisah petualangan Tiuri yang luar biasa ini ke dalam bahasa Indonesia. Dalam mengalihbahasakan Surat untuk Raja, Laurens Sipahelut menggabungkan dua ragam bahasa. Kentara ada upaya dari penerjemah untuk membuat buku ini terterima di kalangan pembaca muda. Ragam keseharian dipilih dan dihadirkan melalui dialog. Kehadiran kata-kata yang tidak ”resmi” seperti enggak, ’lah buset’, ’larinya enggak ada matinya’, tos gambar, ditengarai dapat menjadi ”pencair” keseriusan cerita. Sayangnya, terkadang pilihan kata semacam ini mengganggu keasyikan membaca.

Edisi bahasa Indonesia ini juga berhasil menunjukkan kehebatan Dragt bercerita. Di samping ragam keseharian, Sipahelut menghadirkan ragam tinggi, dengan pilihan kata yang elok. Mungkin saja ini untuk memperlihatkan kedahsyatan kisah petualangan Tiuri. Efek kehadiran kata-kata ”berdaya” seperti barid, biduanda, juak-juak, sipangkalan sangat mencengangkan. Kata-kata yang tidak ”lumrah” dan jarang didengar—untungnya untuk kata semacam itu selalu diberikan penjelasan makna—menimbulkan sensasi keindahan yang luar biasa. Dampak gabungan dua ragam itu menciptakan ”kemegahan” yang terasa begitu ”membumi”.

Sipahelut juga bereksperimen menciptakan kata-kata baru, yang barangkali terasa asing di telinga pengguna bahasa Indonesia, seperti pekuda, mengendala, mencenangkan. Beberapa kata bahkan tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi pemaknaannya mengalir saja. Kenyamanan membaca justru terganggu karena masih banyaknya pekerjaan penyuntingan yang harus dibenahi.

Gembira rasanya menyaksikan bahwa ranah buku anak di Indonesia diperkaya dengan edisi bahasa Indonesia karya Tonke Dragt ini. Di Negeri Belanda, Surat untuk Raja disejajarkan dengan karya besar penulis buku anak kelas dunia seperti CS Lewis The Chronicle of Narnia dan The Lord of the Ring milik JRR Tolkien. Hanya sedikit sekali buku anak karya bahasa Belanda dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebut beberapa di antaranya, Perjalanan Menembus Waktu karya Thea Beckman (Teraju, 2005) dan Minoes karya Annie MG Schmidt (Gramedia, 2006).

Petualangan Tiuri belum berakhir, kisah perjalanannya dapat diikuti dalam buku karya Tonke Dragt lainnya. Siapa tahu Pena Wormer atau penerbit lain masih akan menerbitkan edisi bahasa Indonesia petualangan Tiuri berikutnya. Kita tunggu saja.

Christina Suprihatin Pengajar Susastra dan Terjemahan pada Program Studi Belanda FIB Universitas Indonesia

* Digunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 25 Februari 2008

Tidak ada komentar: