Sabtu, 17 Mei 2008

Empat Kutubuku Nongkrong di Kafe

Luangkan waktu sejenak untuk mengamati sekeliling Anda, terutama di tempat-tempat keramaian seperti mal, kafe, atau selasar pusat belanja. Kerumunan massa tenggelam dalam keasyikan memencet tombol telepon seluler atau memelototi layar komputer jinjing. Membaca buku? Di tengah kepungan peranti digital seperti sekarang? "Emang gue pikirin!," jerit manja penyanyi Maia Estianty dalam sebuah lagu yang berkumandang dari sepotong sudut kafe, seolah-olah memberi jawaban spontan.

Masih dalam kaitan bulan buku, Tempo mengunjungi sejumlah tempat publik secara acak. Hasilnya? Sejumlah kutu buku, species yang tahan banting di segala zaman, ternyata masih ditemukan. Alhamdulillah. Mereka ada di setiap cuaca. Bukan cuma di tempat-tempat yang nyaman untuk membaca, juga di tempat cuci kendaraan. Mereka mungkin bukan figur yang kita kenal. Tapi sungguh, ini bukan sebuah kisah tentang pepesan kosong. Apa saja yang mereka baca?Yophiandi Kurniawan

Hesti Wiriatmadja
Gagap tapi Berkhotbah

Membaca dan Hesti Wiriatmadja, 32 tahun, adalah dua sisi dari sebuah koin. Di mana pun, kapan pun, buku novel detektif James Patterson, atau jurnal kehidupan seorang rohaniwan, selalu tersedia di dalam tasnya. Saat dipergoki Tempo di kafe Starbucks, Kemang, alamak, Reporting Manager Federasi Internasional Perkumpulan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah itu terlihat seperti di rumah sendiri. Duduk selonjoran separuh berbaring. "Ini memang gaya favorit saya," ujarnya seraya memperlihatkan The Anointing karya Benny Hinn, seorang pendeta.

Kekagumannya pada jurnal hidup sang rohaniwan, menurut Hesti, karena buku itu menjelaskan bahwa Hinn "bertemu" dengan Sang Pencipta, bahkan seakan-akan berbicara tatap muka. "Dia seorang gagap, tapi bisa berkhotbah, bagaimana bisa menjelaskan itu?" tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Dia "menemukan" Hinn lewat sebuah acara kesaksian di gereja. Selisik punya selisik, rupanya Hinn lumayan sering datang ke Indonesia. Klop. Maka Hesti pun dengan cepat menjadi pengagum baru Pak Pendeta. Satu buku Hinn lainnya sudah masuk jalur antrean untuk segera dibaca: Good Morning Holly Spirit.

Iwan Sulistiawan
Banyak tapi Biasa

Iwan Sulistiawan, 39 tahun, punya cara cespleng untuk mengusir rasa bosan saat menunggu sepeda motornya dicuci: membaca. Bukan berita di koran, atau cerpen, melainkan novel seperti Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, pengarang perempuan yang tinggal di Surabaya. Novel ini pernah dipentaskan Iwan di kampus tempatnya mengajar, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA (Lembaga Indonesia Amerika), di kawasan Pengadegan, Jakarta Selatan. Siapa peserta teaternya? Ternyata para mahasiswanya sendiri yang memanggil Iwan dengan nama singkat: Bung.

Nah, Februari lalu dia kembali mementaskan Perempuan Kembang Jepun pada sebuah acara ulang tahun mailing-sastra di Jakarta. "Tapi saat itu saya baca novel ini dengan cepat," ujar magister kajian wilayah Amerika dari Universitas Indonesia ini. Saat ini koleksinya karya fiksinya sudah ratusan judul. "Tapi itu bukan hal hebat. Biasa saja karena memang saya butuhkan untuk mengajar sastra," ujar dosen creative writing ini sambil tertawa. Diam-diam Iwan ternyata juga penulis cerpen yang cukup produktif. Sejumlah cerpennya pernah muncul di harian The Jakarta Post. "Saya memang lebih syur menulis dalam bahasa Inggris," katanya.

Astri Wulandari
Kera tapi Ganteng

Lain Hesti, lain Astri Wulandari. Meski sama-sama suka nongkrong di kafe, tempat favoritnya adalah di Oh la la, Sarinah, pada pagi hari. "Sepi, enak banget buat baca," katanya memberi alasan. Kalau sudah begitu, karyawan staf hubungan masyarakat Visi Anak Bangsa tersebut bisa lupa waktu karena larut dalam karya-karya penulis favoritnya: Seno Gumira Ajidarma.

"Kepiawaian Seno mengemas rincian tempat dan tokoh yang ditampilkan itu membuat kisah sangat hidup," ujarnya memberi alasan. Ia, misalnya, mengaku kepincut habis-habisan pada Hanoman, yang digambarkan Seno dalam Kitab Omong Kosong. "Walaupun digambarkan berfisik kera, saya membayangkannya ganteng sekali," katanya terkakak-kakak.

Dipo Siahaan
Lambat tapi Misterius

Di sebuah kafe di Plaza Senayan, Tempo bersirobok dengan Dipo Junjungan Siahaan, 29 tahun. Pria bertubuh tonjang ini terlihat larut dalam alur No Reason for Murder yang sedang di tangannya. "Ini karya novelis Jepang, Ayako Sono," ia menjelaskan. "Tempo ceritanya lambat lazimnya novel-novel Jepang, tapi asyik karena cara pengemasan misteri berbeda dengan para penulis Barat," ujar Program Officer The Japan Foundation, Jakarta, ini.

Saat ini novel Jepang yang sudah dikoleksi Dipo sekitar 30 judul. Pengarang Jepang favoritnya adalah Haruki Murakami, sastrawan yang konon termasuk sebagai kandidat peraih Nobel Sastra 2007. "Novel-novel Murakami lebih condong bernuansa Barat, meski unsur Jepang modernnya masih terasa," ujarnya.

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 11 Mei 2008

Tidak ada komentar: