Sabtu, 22 Maret 2008

Habiburrahman El Shirazy, Penulis Novel "Mega Bestseller" Ayat-Ayat Cinta

Sebuah karya bisa mengubah seseorang dari bukan siapa-siapa menjadi siapa dengan "S" besar (baca: terkenal, Red). Kini, siapa tidak kenal novelis Habiburrahman El Shirazy?

Lewat karyanya, Ayat-Ayat Cinta (AAC), saat ini dia menjadi salah seorang novelis yang cukup ternama di negeri ini. Kang Abik, demikian dia biasa disapa, sebenarnya bukan penulis baru. Cukup banyak novel yang telah ditulis dan diterbitkannya. Rata-rata karyanya bernuansa agamis sesuai background-nya sebagai santri.

Sebelum AAC yang melambungkan namanya, Kang Abik menulis Bercinta untuk Surga, Di Atas Sajadah Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Dalam Mihrab Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih jilid satu dan dua.

Bahkan, karya AAC telah menarik hati sutradara muda berbakat Hanung Bramantyo untuk menyuguhkannya dalam karya sinematrogarafi. Hasilnya, film AAC dibintangi beberapa artis terkenal, seperti Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia Mecca, dan Mellisa Putri.

Film AAC laku keras di masyarakat. Tak kurang dari 2,5 juta orang telah menonton film tersebut. Bukan hanya remaja, film itu juga ditonton orang-orang terkenal di negeri ini. Sebut saja, mantan Presiden RI B.J. Habibie harus antre tiket demi menonton film tersebut.

Kekuatan AAC memang terletak pada jalinan cerita. Kemelut percintaan antara mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir, dengan empat wanita itu, ternyata, membuat orang tak kuasa membendung air mata. "Isinya biasa saja kok. Ceritanya juga biasa. Tidak ada yang istimewa dalam novel ini," ujar Kang Abik merendah saat berdiskusi di konter toko buku Gramedia, Ambarukmo Plaza, Jogjakarta, Sabtu (15/3).

Bukan hanya filmya yang laku keras. Novel yang diterbitkan 2005 itu juga menjadi best seller dalam waktu cukup singkat. Hingga saat ini, lebih dari 450 ribu eksemplar terjual di pasaran.

Yang juga membanggakan, novel tersebut ternyata tidak hanya menggebrak di Indonesia. Di negara jiran, seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura, novel itu sangat digemari. Bahkan, novel AAC telah dijadikan karya sastra perbandingan di salah satu peruguran tinggi (PT) di Malaysia.

Bagi Kang Abik, "keriuhan" yang ditimbulkan AAC itu tidak seperti orang membalikkan tangan. Dia harus melewati lorong panjang nan sepi.

Kang Abik mengenal dunia tulis-menulis sejak anak-anak. Dia belajar menulis mulai di bangku SD. Pria kelahiran 30 September 1976 tersebut tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Karena itu, wacana pesantren sangat kental dalam pemikirannya.

Dia merupakan lulusan pesantren di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Di pesantren itulah, bakat menulis mulai terasah. Dia banyak belajar syi’ir-syi’ir Arab dan ilmu balaghoh (sastra Arab, Red) yang mengasah kemampuannya menuangkan ide dalam tulisan.

"Itu mulanya saya berkenalan dengan sastra. Kemudian, terdukung ketika belajar di madrasah program khusus di Surakarta. Di sana saya mendirikan teater bersama beberapa teman. Saya sebagai penulis skenario dan sutradara," ceritanya.

Selanjutnya, bakat sastranya terus terasah saat belajar di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Di sana, dia banyak mempelajari karya dan literasi karya ulama terkenal dari berbagai dunia. "Banyak yang saya dapat saat saya belajar di Mesir," tuturnya.

Sepulang dari Mesir, dia meneruskan hobi di bidang sastra. Kang Abik menulis beberapa cerpen yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul Kisah-Kisah Islami. Selain menulis, Kang Abik mengajar di Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) MAN 1 Jogjakarta. "Pada waktu itu, gaji saya hanya Rp 100 ribu," ungkapnya.

Namun, sebuah kecelakaan yang terjadi pada 2003 menjadi titik balik hidupnya. Saat akan pulang ke rumahnya di Semarang, dia mengalami kecelakaan di Magelang. Kaki kanannya patah sehingga dia tidak bisa mengajar lagi.

Saat sakit itulah, Kang Abik menumpahkan waktu untuk menulis novel. "Saat itulah, saya menulis Ayat-Ayat Cinta dalam kondisi yang memang saya tidak bisa ke mana-mana. Siang malam saya nulis novel ini," katanya.

Dia mengaku inspirasi AAC itu berasal dari ayat Alquran Surat Al-Zuhruf ayat 67. Dalam surat tersebut, Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang saling mencintai satu sama lain pada hari kiamat akan bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.

"Jatuh cinta dan saling mencintai tetap akan bermusuhan juga pada hari kiamat, kecuali orang yang bertakwa. Jadi, hanya cinta yang bertakwa yang tidak mengakibatkan orang bermusuhan. Itu yang kemudian menjadi renungan saya. Saya pengin juga menulis novel tentang cinta, tapi yang sesuai dengan ajaran Islam, yang menurut saya benar," ungkapnya.

Kang Abik mengakui, setiap karyanya merupakan perpaduan antara sastra dan pesantren. Dia banyak mengambil literasi dan rujukan karya ulama terdahulu. "Rujukan saya adalah karya para ulama dulu. Pedoman menulis saya adalah Alquran. Dengan Alquran, Insya Allah orang akan selamat dan sukses," tuturnya.

Lalu, apa kiat suksesnya dalam menulis karya sastra? Pertama, harus punya niat yang kuat. Kedua, berani menulis. "Banyak orang yang punya niat tapi tidak berani menulis. Kiat lainnya adalah menulis, menulis, dan menulis," sarannya.


Siapkan Kelanjutan AAC

Kehebohan novel dan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) tidak membuat Kang Abik besar kepala. Dia mengaku belum puas dengan hasil karyanya itu. Demikian pula karya filmnya yang dibesut sutradara Hanung Bramantyo.

"Ada beberapa pesan dalam novel yang tidak muncul di film," katanya ketika ditanya alasan merasa tidak puas. "Saya juga merasa ada beberapa pemain yang kurang pas memerankan karakter. Sebab, setelah saya tanya, ternyata belum pernah membaca novelnya," lanjutnya.

Ganjalan serupa dia rasakan saat membaca kembali novelnya. Bahkan, Kang Abik sangat ingin mengoreksi bagian-bagian dalam novel dengan setting cerita di Mesir itu.

"Kalau ditanya puas atau tidak, saya jawab belum. Saya justru ingin memberedeli novel ini dan menyempurnakan," ujar Kang Abik.

Menurut dia, banyak desakan dari pembaca yang ingin mengetahui kelanjutan cerita di novel dengan tokoh Fahri dan Aisha itu. "Banyak yang meminta saya menulis kelanjutannya dan membawa sosok Fahri ke Indonesia sehingga tidak mengawang-awang di Mesir," tuturnya.

Dia sedikit membocorkan novel barunya itu. Alur akan dimulai saat Fahri membawa istrinya, Aisha, pulang kampung. Fahri mengajak sang istri hidup di kampung dan tinggal di rumah berdinding bambu.

Bahkan, untuk buang hajat, Aisha harus menggali tanah di belakang rumah. "Cerita selanjutnya si Aisha tidak bisa tidur karena ghedeg (dinding bambu, Red) rumah suaminya jarang-jarang dan banyak nyamuk lagi," ceritanya.

Kang Abik mengungkapkan, karyanya itu bukan sesuatu yang luar biasa. Dia mengatakan, semua orang bisa berkarya seperti dirinya. Bahkan, bisa melebihi karya yang dihasilkannya.

"Asal mau mencoba dan nggak takut mencoba, bisa menghasilkan karya yang baik. Kalau para mahasiswa terus bisa berkarya, Indonesia akan maju," tuturnya.

Menurut dia, dengan menulis novel, orang bisa menuangkan ide maupun pesan yang akan disampaikan. Pesan itu, lanjut dia, dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sehingga bisa menjadi benteng moral yang kuat dalam menghadapi perkembangan dunia.

Karena itu, cinta dalam novel-novelnya bukan sekadar cinta. "Cinta hanyalah kemasan agar kisah dalam buku ini menjadi indah (menarik, Red)," tegasnya.


Menulis Melawan Pornografi

Dunia tulis-menulis, tampaknya, akan mengambil bagian terbesar dalam perjalanan hidup Kang Abik. Sukses novel Ayat-Ayat Cinta kian menggelorakan gairah untuk terus berkarya.

Lulusan Al Azhar University, Kairo, Mesir, itu bahkan menargetkan bisa menghasilkan karya minimal 400 buah. "Saya ingin meneladani para ulama terdahulu, yakni bisa menulis empat ratus karya sebelum meninggal. Saya harap bisa terwujud di bawah bimbingan Allah SWT," ungkap alumnus pesantren Mranggen, Demak, itu.

Bapak berputra dua tersebut mengakui bahwa caranya berdakwah memang melalui media tulisan. Menurut dia, tulisan bisa membuat orang sadar dengan kondisi dan realitas masyarakat.

"Saya mengkritik lewat karya sastra. Lewat karya inilah, orang tersadar akan kondisi dan realitas yang terjadi," ujarnya.

Selain itu, tujuannya menulis adalah untuk melawan maraknya pornografi. Saat ini, tidak sedikit buku atau majalah yang menjurus dan mengarah pada eksploitasi pornografi sebagai upaya meraih keuntungan. "Nah, lewat karya sastra yang bermutu, pornografi akan terkikis dengan sendirinya," tuturnya.

Terkait dengan pemilihan tema cinta dalam karya-karyanya, Kang Abik mengaku itu merupakan pilihan sadar. Menurut dia, manusia diciptakan dan hidup dengan cinta.

"Cinta itu seperti makan dan minum, sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Jadi, akan selalu menjadi topik yang menarik dan diminati," katanya.

Hanya, tema cinta tidak akan mengungkung kemerdekaannya untuk memilih tema-tema lain. Suami Muyasarotun Saidah itu juga ingin mengangkat tema keteladanan dan kepahlawanan.

Kang Abik mengaku tertarik pada sosok Bung Tomo. Bahkan, belum lama ini dia datang ke Surabaya, Jawa Timur, untuk mendengarkan pidato Bung Tomo sebelum perang melawan Belanda pada 10 November 1945.

"Pidato tersebut sangat menyentuh. Bagaimana seorang anak muda yang minta izin kepada ibunya untuk maju perang.

Saya yakin ketika ini diangkat menjadi novel akan lebih heboh daripada Ayat-Ayat Cinta," tegasnya. (syukron muttaqien/jpnn/ib)

* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi Ahad 23 Maret 2008

Tidak ada komentar: